Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Praktik Calo di Bandara Internasional Minangkabau

Kompas.com - 19/11/2018, 16:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANDAR Udara Internasional Minangkabau (BIM) atau Minangkabau International Airport (MIA) terjadi pada akhir Oktober 2018.

Waktu itu suasananya biasa saja. Tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi. Panas terik, tak ada angin, membuat siapa pun ingin segera bergerak menuju tujuan masing-masing. Saya ingin ke Bukittinggi.

Bandara BIM dan Bukittinggi terpaut jarak kurang-lebih 74 km. Letaknya agak di luar kota Padang, di wilayah Katapiang, Batang Anai, Padang Pariaman. Sekitar 7 km dari pusat kota Padang.

Beberapa lelaki lalu menghampiri saya sejak dari pintu keluar kedatangan. Saya lalu menanyakan kepada salah satunya. "Oh boleh, mari ke sini Uni, tarifnya Rp 85.000," kata lelaki yang saya datangi tadi.

Saya tahu, tarif resmi travel dari Bukittinggi ke Padang hanya sekitar Rp 55.000. Tetapi tak apalah, hitung-hitung tips sopir. Saya juga terburu-buru.

Saya dibawa ke lapangan parkir bandara dan di sana sudah berderet beberapa mobil pribadi menyalakan mesin. Masih 30 menit menunggu dalam cuaca terik, barulah mobil kapasitas 8 orang itu bergerak. Tanpa AC, karena sopir langsung menegur saya ketika saya mulai tutup jendela dan menyalakannya.

"Tak cukup ongkos kalau pakai AC, Uni!" katanya ketus, sambil segera mematikan AC. Oh.

Maka, bergeraklah kami di tengah cuaca panas dan mobil penuh berisi enam dewasa dan dua anak kecil, plus tas-tas pakaian yang berjejalan di bangku penumpang. Jauh dari nyaman.

Untunglah setelah masuk wilayah Padang Panjang, hujan turun deras, dan mata diusap pemandangan hutan hujan di lereng Bukit Barisan, tiada duanya.

Calo travel di Bandara BIM

BIM dibangun sejak tahun 2002 dan diresmikan 25 Agustus 2005. Bandara ini menggantikan Bandar Udara Tabing. Tabing sudah tak cukup lagi menampung arus penumpang dan juga tak cocok karena sebenarnya adalah bagian dari Lanud (Pangkalan Udara) milik TNI Angkatan Udara.

Dengan predikat "bandara internasional" yang dilekatkan pada namanya, BIM sejatinya adalah pintu gerbang lalu-lintas internasional tersibuk di Provinsi Sumatera Barat yang melayani rute dalam dan luar negeri maskapai-maskapai besar di Tanah Air, antara lain Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, dan Lion Air.

Fasilitas dalam bandaranya pun layak bikin bangga. Garbarata digunakan untuk turun-naik penumpang pada hampir setiap penerbangan, yang membuat para lansia, perempuan dengan bayi, dan penumpang difabel tak perlu berpayah-payah turun tangga ketika turun dari pesawat.

Toiletnya bersih dan ramah lansia, perempuan dan anak. Ini juga salah satu yang saya perhatikan meningkat dari tahun ke tahun.

Sayangnya, ini harus dicoreng oleh praktik percaloan moda angkutan penumpang dari bandara ini ke kota-kota sekitarnya.

Percaloan artinya tentu penipuan, tak ada tarif resmi, tak ada janji keamanan dan kenyamanan, dan cara mencari penumpang yang agak "horor" karena para calo kadang langsung menarik-narik tas bawaan kita.

Bayangkan bila Anda turis asing atau orang yang baru pertama kali mendarat di sini. Ini jauh panggang dari api dengan predikat "internasional" yang disandangnya.

Sopir saya, sebut saja Pak Komo, akhirnya berkeluh-kesah sambil minta maaf atas perlakuan tak ramahnya di awal perjalanan ini. Ceritanya kemudian membuat saya berjanji akan menulis untuknya.

Dari tarif Rp 85.000 yang saya bayarkan pada orang yang menemui saya di teras bandara tadi, Pak Komo hanya diberi Rp 35.000. Rata, setiap kepala penumpang.

Padahal, penumpang-penumpang ini tidak turun di satu kota. Ada yang turun di Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, dan bukan semuanya menuju jalan utama.

Mirisnya, bensin yang dibutuhkan untuk menempuh jarak itu pulang dan pergi senilai Rp 150.000. Itu belum uang makan dan rokok sopir. Bisa kita bayangkan, sedikit sekali.

Dan jangan kaget, tarif ini berlaku tidak rata dan bisa dinaikkan semau-mau si calo. Ada penumpang Pak Komo yang baru pertama kali mendarat di Padang dan ingin ke Bukittinggi. Ia "dipaksa" membayar Rp 200.000.

Kesepakatan tak tertulis

Sejak kapan perilaku buruk percaloan ini terjadi? Pak Komo yang baru tiga tahun menjadi sopir travel tak resmi itu menyebutkan praktik ini berlangsung sejak BIM baru beroperasi.

Itu dibenarkan juga oleh seorang ibu penumpang mobil kami yang hampir setiap minggu bolak-balik dari BIM ke Situjuah, suatu tempat sekitar 3 kilometer arah ke luar Kota Payakumbuh.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com