Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warganya Sulit Dapat Akses Kesehatan, Kades di Lebong Salahkan UNESCO

Kompas.com - 23/01/2018, 09:42 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Meninggalnya seorang bocah berusia 6 tahun di Desa Sungai Lisai, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu pada 2009, akibat minimnya akses dan fasilitas kesehatan, mulai terungkap.

Warga dan kepala desa setempat menuding, sejak ditetapkan kawasan yang mereka huni sebagai situs warisan dunia dan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), akses pembangunan terutama jalan tak dapat dibangun pemerintah daerah.

"Fasilitas dan layanan kesehatan minim di kampung kami. Jika ada warga sakit kami harus menandu dan menembus hutan rimba dengan jalan kaki selama 5 jam," jelas Kepala Desa Sungai Lisai, Hajron Hadi, Minggu (21/1/2018).

Menurutnya, pemerintah daerah pernah menempatkan bidan desa, namun tidak ada yang betah. Akhirnya warga pasrah dan menggunakan obat alam untuk mengobati warga yang sakit.

Hajron mengatakan, ia dan warganya memahami pentingnya fungsi TNKS untuk keberlangsungan kehidupan dan ekosistem. Namun ia juga meminta agar hak dasar masyarakat, terutama kesehatan, dapat dipenuhi.

"Kami pernah mengusulkan agar ada jalan masyarakat untuk membawa korban sakit ke kota. Namun usulan itu sepertinya ditolak oleh UNESCO. Kami butuh jalan untuk membawa korban sakit," pintanya.

"Kalau seperti ini namanya UNESCO telah melakukan pelanggaran hak asasi di bidang kesehatan," keluhnya.

Baca juga : Nasib Warga Situs Warisan Dunia Tembus Hutan Rimba Saat Sakit Parah

Ia menyebutkan, hampir setiap bulan dan setiap tahun ada saja warganya yang sakit keras dan harus ditandu menembus hutan menuju kota terdekat, Muara Aman.

Warga Sungai Lisai dahulunya merupakan warga adat dari Madras, Provinsi Jambi. Mereka mendiami kawasan itu sejak tahun 1950. Mereka hidup dan bercocok tanam secara turun-temurun di kawasan tersebut.

Sekitar tahun 1974 mereka masuk ke pemerintahan Provinsi Bengkulu tepatnya di Kabupaten Lebong. Saat ini, terdapat 85 kepala keluarga dan 300 jiwa penduduk tinggal di wilayah itu.

Pada tahun 1980, pemerintah Indonesia menetapkan kawasan yang dihuni masyarakat sebagai TNKS. Selanjutnya tahun 2014, badan PBB  United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan daerah itu sebagai warisan dunia.

Dengan ditetapkan sebagai TNKS dan warisan dunia, praktis hanya kegiatan konservasi yang dapat dilakukan di kawasan tersebut. Akses masyarakat terhadap hutan dan lainnya harus dibatasi.

Bupati Lebong, Rosjonsyah dalam beberapa kesempatan pernah mengemukakan kesulitan pemerintahnya untuk memberikan akses layanan pembangunan masyarakat di daerahnya karena selalu terbentur dengan kebijakan Unesco.

"Kami ini disuruh menjaga hutan TNKS untuk paru-paru dunia. Namun dunia tidak memberikan apa-apa sebagai kompensasi menjaga hutan. Sebanyak 70 persen kabupaten Lebong adalah TNKS," beber Rosjonsyah dalam sebuah acara.

Baca juga : Bupati Lebong: Kami Diminta Jaga Hutan, Sementara Rakyat Kami Kurus

Warga berharap pemerintah dapat memberikan jalan tengah agar hutan tetap lestari, pembangunan berjalan dan hak dasar mereka tetap dipenuhi oleh negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com