Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Evaluasi, 10 Tahun Kasus Lapindo

Kompas.com - 26/04/2016, 15:05 WIB

SIDOARJO, KOMPAS — Semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, genap berusia 10 tahun pada 29 Mei mendatang. Fenomena itu hendaknya menjadi momentum evaluasi bagi negara, dunia usaha, dan masyarakat bahwa membangun itu tidak hanya berorientasi kepentingan ekonomi semata.

Mereka juga harus berorientasi pada kepentingan lingkungan, termasuk aspek sosial, tegas Profesor Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saat berbicara dalam Sarasehan Pentingnya Etika Penyelenggaraan Pemerintahan dan Fenomena Gunung Lumpur di Sidoarjo, Senin (25/4/2016).

Acara dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, Wakil Bupati Sidoarjo Nur Achmad, Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo Sulamul Hadi Nurmawan, Kapolres Sidoarjo Komisaris Besar Anwar Nasir, dan sejumlah kepala dinas.

Selain itu juga hadir Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc Tri Setija dan ahli geologi Jatim, Handoko Teguh Wibowo. Jimly yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bidang Hukum mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana tinggi. Salah satunya karena rentan terhadap fenomena perubahan alam dan dikelilingi gunung berapi.

Bencana lahir bukan hanya faktor alam, melainkan juga akibat ulah manusia. "Potensi bencana yang tinggi melahirkan banyak kondisi darurat. Kondisi negara yang tidak selalu normal itu memerlukan hukum tata negara darurat. Sebab hukum normal (yang diberlakukan) untuk kondisi tidak normal hanya melahirkan ketidakadilan," ujarnya.

Dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, hukum belum terintegrasi dengan benar sehingga justru berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, penyelesaian masalah tidak bisa dilakukan berdasarkan hukum semata. Apalagi secara hukum, tanggung jawab perusahaan sangat terbatas.

Jimly menegaskan, kegiatan pertambangan harus dievaluasi. Negara tidak boleh menang sendiri dan rakyat tidak boleh menjadi korban. "Peraturan pertambangan sangat terbuka direvisi. Contohnya terkait lokasi pengeboran dan jarak aman dengan permukiman penduduk untuk menghindari jatuhnya korban. Sebab, pada akhirnya, inti pembangunan negara adalah masyarakat," kata Jimly.

Sementara itu, Saiful melaporkan, semburan lumpur panas masih aktif, tetapi volumenya tidak sebesar dulu yang mencapai 160.000 meter kubik per hari. Meskipun demikian kolam penampungan sudah penuh dan kondisinya terus meluas menjadi 671 hektar, melebihi peta area terdampak yang ditetapkan pemerintah 640 hektar.

Semburan lumpur menjadi bencana yang melahirkan penderitaan. Lebih dari 13.337 keluarga kehilangan tempat tinggal karena terkubur dengan ketinggian hingga 15 meter. Penyelesaian ganti rugi korban lumpur tak kunjung tuntas kendati telah dipinjami dana pemerintah Rp 781 miliar pada 2015.

"Masih ada 87 berkas korban lumpur yang belum terbayar. Penyebabnya banyak, seperti masalah perbedaan status tanah, masalah ahli waris, dan masalah administrasi. Perusahaan (Lapindo) tidak lepas tangan kendati secara hukum semburan lumpur dinyatakan sebagai bencana alam bukan bencana pengeboran," ujar Saiful. (NIK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2016, di halaman 22 dengan judul "Evaluasi, 10 Tahun Kasus Lapindo".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com