Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Berjibaku di Pedalaman Papua

Kompas.com - 25/11/2015, 06:30 WIB
KOMPAS - ”Saya takut melihat murid-murid. Mereka pun takut melihat saya,” kata Kuncahyo (51), seorang guru, sambil tergelak saat mengisahkan pengalaman pertama kali menginjakkan kaki di Papua untuk menjadi guru sekolah dasar.

Kuncahyo adalah salah satu dari 715 guru muda dari Jawa Timur yang khusus didatangkan Gubernur Irian Jaya (saat itu) Izaac Hindom tahun 1985. Mereka disebar ke sejumlah sekolah di pedalaman Papua untuk mendidik anak-anak.

Senin (16/11) siang itu, Kuncahyo duduk di ruang tamu rumahnya di Nabire, Papua, ditemani Sugeng, sesama guru dari Jatim. Mereka mengenang, tahun 1985 itu, rata-rata baru satu tahun lulus dari sekolah pendidikan guru. Mereka berusia 20-21 tahun.

Kuncahyo masih ingat, suatu hari, di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Jatim, terpampang poster ajakan kepada guru muda untuk pergi ke Irian Jaya. Tawaran itu tidak menarik karena dia punya kesibukan dan penghasilan yang lumayan. ”Gaji guru honorer Rp 4.000 per bulan, ditambah gaji sebagai tukang sablon Rp 15.000 per bulan. Saya juga punya band yang lumayan menambah pemasukan,” ujarnya.

Keadaan berbeda bagi Sugeng yang saat itu menjadi guru honorer di Kabupaten Probolinggo, Jatim, yang belum dimasuki jaringan listrik. Keluarganya juga tidak mampu membiayainya untuk melanjutkan kuliah. ”Tawaran ke Irian adalah kesempatan berharga,” katanya.

Tawaran itu menjadi menarik bagi Kuncahyo ataupun Sugeng, juga sejumlah guru muda lain, karena mereka dijanjikan langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, proses normal menjadi PNS butuh waktu bertahun-tahun. Mereka juga dijanjikan bakal dimutasikan kembali ke Pulau Jawa setelah empat tahun mengabdi. Seingat Sugeng, ada 1.500 orang yang melamar.

”Selama satu hari penuh mengikuti persiapan pengiriman di Gelanggang Olahraga 10 November di Surabaya,” ujar Sugeng.

Di sana, mereka diberi satu koper yang berisi seragam Korps PNS, peralatan memasak, dan sembilan bahan pokok. Di hari itu juga diputuskan, mereka akan dikirim ke Jayapura pada 10 Desember 1985.

Satu bulan masa menunggu ternyata membuat ciut nyali sebagian peserta. Sebagian mengundurkan diri. Bahkan, ada yang nekat melompat dari bus yang membawa mereka ke Bandara Juanda, Surabaya. Jumlah guru yang dikirim tinggal 715 orang. Kecemasan berkurang ketika di atas pesawat mereka diberi surat keputusan calon PNS.

Gegar budaya

Meskipun begitu, setiba di Jayapura mereka kaget melihat ibu kota provinsi yang sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan. Khusus untuk kelompok terbang Sugeng dan Kuncahyo, beranggotakan 60 orang, dikirim ke Kabupaten Paniai. Sugeng bersama Sutiharsih, yang kelak dinikahinya, ditempatkan di Kecamatan Ilaga di lereng Gunung Cartenz. Kuncahyo dikirim ke Puncak Jaya untuk mengajar di SD Purbalok. Rekan mereka, Endang Sumiartini dan Jasmadi, ke Moanemani.

Senja hari, pada 19 November 2015, Kuncahyo, Sugeng, Endang, Jasmadi, dan 12 rekan sesama guru menggelar pembubaran panitia reuni 30 Tahun Paguyuban Guru-guru Jatim Pagujati) di kediaman Sugeng. Mereka ingat, mereka terkejut melihat keadaan Papua yang amat berbeda dari Pulau Jawa saat itu.

”Saya sampai pingsan saking kelelahan. Berangkat naik pesawat dari Surabaya ke Jayapura, dilanjutkan dengan penerbangan dengan pesawat kecil ke Moanemani,” ucap Endang. Hal itu belum ditambah kekagetannya melihat penampilan masyarakat setempat dengan busana khas.

Endang mengajar di SD Maua dan menangani 25 siswa dari kelas I hingga III. Beberapa dari siswa itu bertubuh lebih tinggi daripada Endang. Maklum, mereka terlambat sekolah, bahkan ada yang masuk SD ketika sudah berumur 12 tahun.

Kekagetan itu berubah menjadi semangat karena ada begitu banyak hal yang harus dilakoni. Dia harus mengajak anak-anak bersekolah. ”Yang penting datang dulu ke sekolah. Soal belajar membaca dan menulis, itu urusan belakangan,” ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com