Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Gulai Kambing Jadi Sarana untuk Tolak Bala...

Kompas.com - 18/09/2015, 09:22 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Tradisi sadranan menjadi agenda rutin setiap tahun bagi warga Kelurahan Cacaban, Magelang Tengah, Magelang, Jawa Tengah. Namun, tradisi yang mereka gelar tergolong unik, dan berbeda dengan sadranan yang biasa digelar masyarakat Jawa pada umumnya. Sebab, tradisi ini identik dengan makanan gule atau gulai daging kambing.

Bagi mereka, gulai kambing tidak sekadar makanan yang lezat disantap, namun juga memiliki nilai historis tinggi serta makna yang mendalam. Dikisahkankan Sekretaris Kelurahan Cacaban Sriyadi, konon pada ratusan tahun lalu di kampung itu tinggal tokoh bernama Kyai Tuk Songo.

Tokoh ini yang menyarankan masyarakat kala itu untuk memasak gulai kambing sebagai wujud ikhtiar agar terhindar dari pagebluk (malapetaka). "Dahulu di kampung ini mengalami pagebluk, orang-orang terjangkit penyakit, terjadi bencana dan mala petaka lainnya. Oleh Kyai Tuk Songo disarankan untuk menggelar doa kepada Tuhan sekaligus memasak gulai kambing. Tujuannya sebagai tolakbala," ungkap Sriyadi, Jumat (18/5/2015).

Sejak itu, lanjut Sriyadi, Kampung Cacaban terhindar dari mala petaka. Masyarakat pun mulai melestarikan tradisi doa bersama dan memasak gulai kambing setiap tahun, terutama pada bulan besar (dzulhijah).

Adapun prosesi tradisi ini diawali dengan membaca kitab suci al-Qur'an dan doa bersama oleh warga bersama para santri yang dipusatkan di kantor kelurahan Cacaban. Selanjutnya, sejumlah warga berjalan kaki menuju komplek Makam Kyai Tuk Songo, atau sekitar dua kilometer dari kantor kelurahan.

Terlihat sebuah gunungan palawija besar dan dua ekor kambing ikut serta dalam kirab yang digelar pada Kamis (17/9/2015) sore itu. "Dua ekor kambing ini yang hari ini akan dipotong lalu dimasak menjadi gulai. Sebelum kemudian disantap bersama di areal pemakaman Kyai Tuk Songo. Sedangkan gunungan palawija diperebutkan warga," kata Lurah Cacaban, Praditya Dedi Haryanto.

Menurut Praditya, tradisi ini tidak saja sebagai upaya melestarikan tradisi nenek moyang tetapi juga wujud syukur kepada Tuhan atas limpahan rahmat dan perlindungan bagi warga Cacaban.

“Termasuk juga wujud syukur kita pada Yang Maha Kuasa agar selalu diberi perlindungan. Terlebih pada bulan besar (Dzulhijah) ini kita diminta untuk banyak bersedekah,” tutur dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com