Pimpinan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Semarang, Djati Prijono mengatakan, pemerintah mengapresiasi pemberian nisan kepada warga yang diduga korban eks 1965. Temuan masa lalu perlu dipegang bersama agar hal yang sama tak berulang di masa depan.
“Riak masa lalu ini harus dipegang bersama. Mereka bukan sebagai tumbal negara, tapi bagian dari tokoh sejarah,” kata Djati, Rabu (2/6/2015).
Hal yang sama disampaikan Camat Ngaliyan Heru Sunandar. Baginya, persoalan masa lalu sudah semestinya diselesaikan dengan cara yang baik. Bentuk pemberian nisan pada warga yang diduga korban adalah cara-cara kemanusiaan.
“Kami harap ini bisa diselesaikan dengan baik. Jangan sampai hal masa lalu terulang. Langkah ini adalah awal, untuk selanjutnya mari dikerjakan bersama,” ujar dia.
Berbagai perangkat pemerintah juga mendukung langkah penisanan, termasuk lurah Wonosari, Sulistiyo. Makam yang berada di wilayah hutan negara juga mendapat persetujuan dari Perhutani untuk sekadar penandaan.
Wakil Kepala Perhutani Kantor Pemangku Hutan (KPH) Kendal Rofi Trikuncoro mempersilahkan makam dipugar dengan menambah paving blok di sekitar lokasi. Hanya saja, ia meminta agar pemugaran tidak disertai dengan penebangan pohon.
“Tapi kami mohon agar nanti kalau ada kegiatan, kami diberi tahu agat tidak ada kesalahpahaman,” ujar dia.
Sejauh ini, di pemakaman yang ditemukan di Dukuh Plumbon ada 24 orang jenazah yang dikubur. Delapan orang diantaranya telah berhasil diidentifikasi. Para aktivis hak asasi manusia saat ini terus berusaha merampungkan nama-nama tersisa yang belum tercatat.
Para korban yang tercatat antara lain, Moutiah, Sosatjo, Darsono, Sachroni, Joesef, Seekandar, Doelkhamid, Soerono.