Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Pulau Penyengat untuk Indonesia

Kompas.com - 08/02/2015, 15:15 WIB

KOMPAS.com - Peringatan Hari Pers Nasional di Kepulauan Riau pada 5-9 Februari 2015, menjadi ajang aktualisasi diri bagi tuan rumah. Dalam kesempatan emas itu pula, Deklarasi Pulau Penyengat dibacakan, tepatnya pada Jumat (6/2/2015). Tujuannya, mengekalkan ingatan tentang asal-muasal dan perjuangan mewujudkan bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Di pulau yang terletak 1,5 kilometer arah barat Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Riau, inilah pusat peradaban Melayu-Lingga berkembang. Aktivitas intelektualitas di sana, memberi sumbangsih berupa bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Pada naskah deklarasi yang dibacakan Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Abdul Razak, ditegaskan bahwa semasa abad ke-19 hingga ke-20, Pulau Penyengat merupakan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu secara modern yang pertama. Deklarasi didahului dengan Konvensi Bahasa Media Massa yang diprakarsai Forum Bahasa Media Massa di Gedung Daerah Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Di Pulau Penyengat, terbangun enam pilar bahasa, yakni bentukan kata (morfologi), makna kata (semantik), asal-usul kata (etimologi), kamus, tata bahasa, dan ejaan, serta pelajaran bahasa. Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji, Abdul Malik, dalam forum konvensi, memaparkan, Pulau Penyengat yang merupakan pusat Kesultanan Riau-Lingga abad ke-19 sampai awal abad ke-20, menjadi pusat budaya tulis-menulis.

Aktivitas literasi amat dimuliakan oleh Kesultanan. Para pembesar istana merasa hidupnya belumlah lengkap bila belum menghasilkan karya tulis, mencakup sastra, hukum, agama, dan lain-lain.

Adalah Raja Ali Haji (1809-1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau-Lingga kala itu. Raja berdarah Bugis itu menulis puluhan buku. Dua buku dalam bidang bahasa (Melayu) yakni Bustanul Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), merupakan perintis bidang linguistik.

Menurut Malik, karya Raja Ali Haji paling menonjol ialah karya bidang filsafat yang membaur dengan puisi ”Gurindam Dua Belas” (1847). Puisi yang diabadikan dalam prasasti di kompleks makam raja-raja Riau-Lingga itu berisi banyak ajaran budi pekerti, termasuk dalam berbahasa dan berperilaku. ”Bahkan, sampai pada urusan penegakan hukum,” ujar Malik.

Dunia penulisan kala itu telah diramaikan kaum perempuan, seperti Raja Saliha yang mengarang Syair Abdul Muluk bersama Raja Ali Haji. Perempuan kerabat istana lainnya, juga ”tertulari” tradisi menulis, seperti Encik Kamariah, Raja Safiah, dan Raja Kalsum.

Malik menguraikan, penulis di lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga mencapai 41 orang dengan total karya yang dihasilkan 95. Dari jumlah tersebut, terdapat 19 penulis keturunan bangsawan dengan 67 karya dan 22 penulis non bangsawan dengan 28 karya.

”Itu pertanda dalam aktivitas membangun peradaban ada sinergi antara penulis dan penguasa,” kata Malik. Sultan Mahmud Riayat Syah dengan dukungan penuh istrinya, Engku Puteri Raja Hamidah, menjadi tokoh utama yang menjelmakan Kesultanan Riau-Lingga, khususnya Penyengat, sebagai pusat tamadun (peradaban) Melayu.

Warisan bagi dunia

Dalam konvensi yang juga menampilkan Mukhlis Paeni (anggota komite penasihat internasional Memory of The World di bawah naungan UNESCO) dan Hasan Alwi (ahli bahasa), mengemukakan usulan agar karya kesusastraan Raja Ali Haji di Pulau Penyengat diakui sebagai warisan dunia. ”Tahun 2015 ini akan diusulkan ke UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) keseluruhan karya Raja Ali Haji dan keunikan Pulau Penyengat,” ujar Mukhlis.

Mukhlis menilai, pada masanya, kiprah Raja Ali Haji mencerminkan fenomena unik di Nusantara. Pada era yang sama, seorang perempuan Bugis berdarah Melayu di Sulawesi Selatan, Ratna Kencana Colliq Pujie, juga mengkaji dan mengembangkan karya sastra I La Galigo yang kini tercatat dalam Memory of The World.

”Ini menandakan masa itu terjadi pertautan darah intelektual antarsuku dan bersemi pada lapisan bangsawan,” kata Mukhlis, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan menegaskan, secara sosiologis, kebiasaan menggunakan bahasa standar atau baku merupakan ciri keterpelajaran. Salah satu komunitas yang diharapkan mengembangkan dan menerapkan ciri itu ialah pers, selain kalangan akademisi, birokrat, dan anggota legislatif.

”Sejatinya media massa senantiasa menggunakan bahasa baku yang baik dan benar. Mutu pers sebagai sarana publikasi dan lembaga pendidikan publik ditentukan oleh kebiasaan menggunakan bahasa baku,” kata Bagir. (NAR/TRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com