Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Air Sungai Tak Lagi Membawa Manfaat...

Kompas.com - 04/10/2014, 13:02 WIB
Kontributor KompasTV, Muhamad Syahri Romdhon

Penulis

CIREBON, KOMPAS.com – Ikan-ikan sepat di sungai Desa Kapunduan sudah berkurang, bahkan nyaris punah. Area sawah di sekitarnya pun mengering, mengeras, dan retak-retak. Warga yang terbiasa mengonsumsi air, dan anak-anak yang biasa mandi di sungai pun sudah lama menjauh, menghindari penyakit kulit, dan kanker yang mengancam diri mereka.

Air yang seharusnya membawa banyak manfaat dan berkah, kini perlahan membawa musibah dan malapetaka bagi warga sekitar.

Begitulah kondisi di Desa Kapunduan, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (3/10/2014) sore. Air sungai di desa itu tak lagi jernih dan bening. Sejak sekitar tujuh hingga delapan tahun silam, air yang melintasi empat Kecamatan, Dukupuntang, Depok, Jamblang, hingga Palimanan (jalur utama pantura) ini, keruh dan hijau lantaran tercemar limbah industri usaha batu alam.

Habitat hewan dan makhluk yang hidup di sungai itu pun rusak dan nyaris punah. Tidak hanya itu, air limbah industri batu alam juga mengalir ke areal persawahan warga. Akibatnya, sawah ditutupi debu batu dan kapur yang tebal. Semakin terkena panas matahari, permukaan menjadi hijau, mengeras, dan retak-retak, persis seperti tanah yang terkena semen.

“Dahulu, banyak warga sini (Blok Kapunduan, Desa Kapunduan), yang jadi tani. Air dan tanahnya subur, kayak di Kuningan dan Majalengka. Tapi, setelah kena limbah, jadi tani malah tambah susah. Rugi terus,” keluh Sabda (50), di sisi sungai saat membersihkan paculnya.

Muhamad Syahri Romdhon Sawah di Desa Kapunduan, Cirebon, Jawa Barat, ikut berdampak air limbah pabrik.


Bapak beranak empat itu terus mengelus dada, hampir sudah tidak ada lagi tanah yang subur. Sawah yang seharusnya panen tiga kali dalam satu tahun, kini hanya dua bahkan satu kali. Jumlah dan hasil panennya pun menurun. Usaha bertani dengan menyewa tanah “bengkok” (sawah milik desa) sudah diubahnya menjadi perkebunan palawija. Perpindahan itu pun tak membuahkan hasil maksimal baginya.

Harapan untuk kembali mendapatkan sungai, sawah, dan lingkungan sehat pun sudah pupus dari hatinya. Pasalnya, sudah berulang kali Sabda bersama petani sekitar meminta solusi pada pemerintah, namun tak ada tanggapannya. “Lah, pemerintah dikasih angklop (amplop) juga diam,” celoteh Sabda yang luntur kepercayaannya terhadap pemerintah.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Kabupaten Cirebon, Drs Ita Rohpita Sari MSI, mengakui, kondisi pencemaran lingkungan, industri batu alam sudah parah, dan sangat mengkhawatirkan. Secara kasat mata, limbah yang masuk ke sungai dan ke area persawahan itu sudah benar-benar tebal.

“Tahun 2008 terdapat sekitar 200 pengusaha, dan akhir September 2014 sudah nambah sampai 430 pengusaha. Hampir dipastikan, seluruh pengusaha yang belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) membuang limbah ke sungai dan sawah,” jelasnya.

Kabid Pengendalian Pencemaran BLHD Kabupaten Cirebon, Fitri Nurliasari, menyampaikan, berdasarkan hasil uji labolatorium September lalu, Total Suspended Solid (TPS) alias tingkat kekeruhan air sungai meningkat hingga 40 kali lipat.

“Berdasarkan hasil lab kemarin, TSS-nya mencapai hingga 7.980 miligram per liter, dari ambang batas normal hanya 200 miligram per liter. Ini bukan hanya bahaya, tapi sangat berbahaya,” tuturnya.

Selain itu, Biochemical Oxigen Demand (BOD) alias kebutuhan eksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air mikro organisme, atau pemecah racun, itu harusnya di bawah ambang batasnya 200, dan ternyata mencapai 600 miligram per liter.

“Air sungai yang tercemar itu tidak mungkin lagi dipakai, jangankan untuk manusia, untuk tanaman padi, tebu, sangat merusak. Bahkan kandungan organik tanaman tersebut yang dikonsumsi manusia dalam jangka panjang bisa menyebabkan degenerasi, kanker, dan lainnya,” ungkap Fitri.

Dalam jangka panjang, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi aktivitas industri usaha batu alam mengalami gangguan di pernapasan akibat debu batu yang beterbangan, telinga akibat kebisingan, kulit akibat limbah, dan kanker akibat mengonsumsi padi hasil panen petani sekitar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com