Dimas seharusnya menjalani kemoterapi untuk membunuh tumor yang bersarang di perutnya. Namun, fasilitas Jamkesda tak mencakup layanan itu. Dimas akhirnya dibawa pulang meski kondisinya terus memburuk.
"Disuruh pulang karena jatah Jamkesdanya sebesar Rp 5 juta habis. Kalau kemoterapi katanya Rp 15 juta tiap bulannya," kata Kaswadi, ayah Dimas.
Sebagai buruh bangunan dengan penghasilan pas-pasan, Kaswadi akhirnya hanya bisa merawat anaknya dengan pengobatan alternatif. Segala macam pengobatan alternatif dicobanya, tetapi hasilnya tetap nihil.
Kondisi Dimas semakin lemah dan perutnya terus membuncit. Tak tega melihat penderitaan anaknya, Kaswadi berencana membawa Dimas ke rumah sakit lagi. Kemudian, Kaswadi mengajukan keringanan ke Dinas kesehatan agar bisa mendapatkan fasilitas Jamkesmas.
Bahkan, ia mengurus kartu Jamkesmas sampai ke Jakarta. "Sekitar bulan Juni saya mengurus Jamkesmas sampai ke Jakarta dan alhamdulilah berhasil," katanya.
Berbekal kartu Jamkesmas itulah, keluarga kembali membawa Dimas ke rumah sakit. Lagi-lagi Kaswadi dan Praptini, ibu Dimas, harus menghadapi kenyataan pahit. Pihak RS menolak Dimas lantaran Jamkesmas akan berganti nama menjadi BPJS.
"Kartunya belum sempat dipakai berobat karena sekarang ganti BPJS. Harus ngurus dulu," jelas Kaswadi.
Hingga saat ini, Kaswadi dan keluarganya hanya bisa berdoa agar kartu BPJS segera keluar. Entah sampai kapan Dimas, anak semata wayangnya itu, akan sanggup menanggung sakitnya. "Awal bulan lalu ada solidaritas Masjid Agung Semarang ke rumah, mereka mau menguruskan BPJS. Semoga saja cepat keluar," harapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.