Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Guru Honorer, dari Kisah Periuk Nasi hingga Batal Nikah

Kompas.com - 13/01/2017, 06:53 WIB


KOMPAS.com - Mereka tampil di depan kelas sebagai "penyelamat" bagi sekolah-sekolah yang kekurangan guru tetap. Namun, ketika kewenangan mengelola sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan beralih dari kabupaten/kota ke provinsi, nasib mereka malah tidak ikut "terselamatkan". Kisah miris ini terjadi di sejumlah daerah.

Moch Hamzah Rifwan (33) antusias membawakan pelajaran Pendidikan Agama Islam di hadapan siswa SMK Negeri 2, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/1). Wajahnya sama sekali tak menampakkan gundah. Padahal, mulai Januari 2017 ini, penghasilan guru honorer tersebut tidak menentu.

Pelimpahan wewenang pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi awal tahun ini membuat nafkahnya tak lagi bersumber pada Pemerintah Kota Surabaya. Selama ini, sebagai guru tidak tetap (GTT) dia memperoleh gaji setara upah minimum kota (UMK) Surabaya (Rp 3,2 juta). Upah yang rutin diterima awal bulan itu cukup untuk menghidupi istri dan dua anaknya.

Kini dengan beralihnya pengelolaan SMK ke Provinsi Jawa Timur belum ada kepastian gaji sebesar itu dibayar tepat waktu. "Penghasilan saya hanya dari honor guru. Kalau gaji Januari terlambat, saya akan menggadaikan BPKB sepeda motor karena kebutuhan susu untuk anak saya yang masih berusia 9 bulan dan 4 tahun tidak bisa ditunda," kata Hamzah, Selasa (10/1).

Kegundahan pria berpeci itu beralasan. Sebab, Pemprov Jatim dipastikan tak punya anggaran untuk menggaji guru honorer. Hal ini berbeda ketika SMA/SMK masih dikelola Pemkot Surabaya. Pemkot Surabaya membayar gaji GTT dengan anggaran Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (Bopda).

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman mengatakan, setelah peralihan pengelolaan SMA/SMK kepada Pemprov Jatim, sebanyak 34.000 guru PNS di Jatim sudah mendapatkan gaji pada 3 Januari 2017. Namun, khusus untuk guru honorer atau GTT, gaji untuk Januari belum dibahas. Jumlah guru honorer seperti Hamzah di Jawa Timur sekitar 4.000 orang.

Saiful mengatakan, pengelolaan GTT berada di tangan kepala sekolah. Kepala sekolah harus berpikir menjalankan roda sekolah, mulai dari biaya operasional hingga gaji GTT dari uang Bantuan Operasional Sekolah dan sumbangan biaya pendidikan (SPP) siswa.

Tak pelak, Hamzah pun terpaksa putar otak. Dia berencana berjualan es tebu untuk mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin bertambah. Dia sudah bertanya kepada temannya tentang cara berjualan es. Modalnya sekitar Rp 4 juta. "Nanti bisa pinjam teman dulu untuk memastikan dapur keluarga tetap mengepul," ujarnya.

Tunda menikah

Keresahan juga dialami Rosi Hanafi (26), guru honorer, rekan sejawat Hamzah. Rencana untuk menikahi gadis pujaan pada 2017 terancam urung. Uang tabungan yang disisihkan untuk biaya pernikahan bakal terkuras jika gaji bulanannya tidak menentu. "Saya sudah melamar dua minggu lalu. Kalau penghasilan tidak menentu, calon istri bisa kecewa," ujar pria lulusan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya ini.

Rosi berencana mencari tambahan penghasilan dari menjadi guru les. Saat ini, dia hanya mengajar selama satu jam dalam sebulan. "Saya harus bekerja lebih keras lagi agar impian menikah terwujud," kata Rosi.

Setelah alih kelola ke provinsi, guru honorer di Surabaya dan seluruh Jawa Timur hanya bertumpu pada SPP. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan Pemkot Surabaya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, saat SMA/SMK berada di bawah kewenangan Pemkot Surabaya, dia menyediakan anggaran gaji guru honorer SMA/ SMK dari Bopda sebesar Rp 160 miliar per tahun. Alhasil, warga tidak dipungut biaya saat mengenyam pendidikan SMA/SMK.

Kegundahan juga kini dialami guru honorer di Jawa Barat. "Biasanya honor kami cair paling lambat tanggal 4 setiap bulan. Namun, sekarang, untuk bulan Januari, saya belum terima. Keterlambatan ini baru pertama kali terjadi," ujar Ilham (32), guru honorer di SMA 1 Kapetakan, Cirebon, Selasa.

Honor mengajar mata pelajaran Fisika selama 12 jam per minggu di sekolah tersebut pun belum dapat ia nikmati. Setiap jam, Ilham memperoleh Rp 45.000 atau dapat mencapai Rp 2,1 juta per bulan.

Hal yang sama dialami Slamet Riyadi (36), guru honorer di SMK 1 Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selaku guru honorer, ia khawatir akan sumber nafkahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com