"Masyarakat masih segan dan patuh terhadap unsur adat," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Flores Timur, Ignasius Usen Aliandu, Rabu (2/3).
Wacana ini bertujuan agar para nelayan yang melanggar dalam penangkapan ikan bisa dikenai hukuman sesuai adat yang berlaku sanksi seperti gading atau sarung adat. Biasanya cara tersebut bisa langsung dieksekusi dan pelaku menerima sanksi sosial maupun finansial.
Menurut Ignasius, ada dua pemimpin adat yang masih disegani di daerah Flores Timur yakni Raja Larantuka dan Raja Sagu. Raja Larantuka memiliki pengaruh di Kabupaten Flores Timur di Pulau Flores sementara Raja Sagu disegani masyarakat yang tinggal di Pulau Adonara.
Cara ini diharapkan bisa mengimbangi langkah pemerintah dalam menekan laju kerusakan terumbu karang seperti pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Namun, sebanyak 17 Pokwasmas yang ada di Kabupaten Flores Timur kurang efektif karena keterbatasan dana. Tugas mereka umumnya melaporkan setiap penyimpangan yang ditemui hingga penindakan bersama penyidik PNS (PPNS).
Lontaran tersebut mengemuka di sela pelaksanaan Ekspedisi Pemantauan Terumbu Karang untuk Evaluasi Dampak di Flores Timur dan Alor. Dimulai sejak tanggal 13 Maret, Kapal Layar Motor FRS Menami membawa peneliti dari World Wide Funds for Nature (WWF), Wildlife Conservartion Society (WCS), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengitari Pulau Alor, Solor, Pantar, Flores dan Adonara.
Selama ekspedisi berlangsung, para peneliti mendapati kerusakan terumbu karang di berbagai lokasi pemantauan. Kebanyakan hancur berantakan dan mati akibat bom ikan dan potas. (eld)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.