Untuk itu, menurut Edwin, langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk pusat krisis lintas sektoral hingga NGO dalam menangani para WNI di Myanmar.
Setelah itu, Indonesia harus segera memetakan situasi di lapangan berdasarkan informasi dari pejabat diplomatik, intelijen, dan jejaring NGO Indonesia di Myanmar.
“Lalu segera berkoordinasi dengan berbagai pihak di lapangan untuk mulai merancang skenario penyelamatan. Syukur-syukur jejaring lokal tahun lalu masih bisa efektif dimanfaatkan,” katanya.
“Hal lain yang perlu dipastikan adalah bagaimana membuka akses kepada kelompok pemberontak. Indonesia punya modalitas untuk ini sebagai negara ASEAN yang paling vokal terhadap rejim militer di Myanmar.”
Baca juga: Diduga Selundupkan Pengungsi Rohingya ke Aceh, WN Myanmar dan Bangladesh Ditangkap
Edwin menambahkan Indonesia juga perlu waspada dan mempersiapkan langkah alternatif apabila perusahaan pelaku TPPO terafiliasi dengan pemerintah atau kelompok pemberontak. “Kemungkinan akses untuk evakuasi akan lebih rumit apabila situasi seperti ini terjadi,” katanya.
Selain itu, tambahnya, Indonesia juga harus memastikan koordinasi yang terukur dengan pemerintah Myanmar dan Thailand untuk melakukan evakuasi sesuai dengan jalur aman yang dipandu oleh jejaring lokal dan NGO di Myawaddy.
Terlepas dari upaya itu, menurut Edwin status ilegal WNI yang masuk sebagai pekerja ke Myanmar tidak menjadi hambatan untuk mengevakuasi mereka.
“Kemungkinan besar tidak murni inisiatif dari para korban [masuk Myanmar], tetapi ada kontribusi keterlibatan sindikasi perusahaan yang mempekerjakan mereka."
"Perusahaan itu boleh jadi legal di Myanmar, tetapi apabila cara mereka merekrut pekerja atau membiarkan pekerja masuk tanpa izin melalui penipuan maka itu adalah praktik-praktik ilegal,” katanya.
Baca juga: Apakah Rohingya Diusir dari Myanmar?
Ditambah lagi, menurutnya, Myanmar telah menandatangani Protokol Palermo yang mewajibkan negara untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan manusia.
"Apabila status dari para WNI ini memenuhi pengertian dalam Pasal 3a Palermo Protocol, maka Myanmar harus melepaskan mereka,” ujarnya.
Kota ini direncanakan menjadi pusat kasino, karaoke, dan hiburan lainnya.
Investor besar taipan China pun diberi izin oleh BGF (Border Guard Forces), kelompok etnis bersenjata yang dulunya bernama Democratic Karen Buddhist Army, untuk membangun wilayah itu.
“Awalnya proposal bisnis di Shwe Kokko dan Myawaddy adalah sebuah megaproyek kota baru yang digadang-gadang seperti Sillicon Valley. Namun pada akhir 2019 ada kecurigaan dari pemerintah Aung San Suu Kyi dan melakukan investigasi lalu menghentikan proyek itu sementara,” kata Kelana.
Kemudian kursi Aung San Suu Kyi dikudeta.
Baca juga: Kemenlu Selamatkan 1 WNI Pekerja Judi Online dari Wilayah Konflik Myanmar
Aktivitas megaproyek itu kembali berjalan usai militer mengambil alih kekuasaan politik.
“Wilayah ini berubah menjadi pusat penipuan karena pandemi. Tempat ini merupakan hub kejahatan lintas negara dalam bentuk apapun, seperti kejahatan siber, prostitusi, narkoba, perdagangan senjata, dan lainnya.”
“Adanya kolusi antara etnis bersenjata lokal bernama BGF dengan pengusaha China kemudian mendorong wilayah ini menjadi surga kejahatan lintas negara,” ujarnya.
Lalu mengapa kejahatan di sana sulit dihentikan?
Salah satu alasannya kata Kelana adalah karena beberapa wilayah di sana ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus.
Artinya, otoritas berwajib di sana tidak punya kewenangan penuh menghentikan perusahaan atau mengambil tindakan apa pun terkait bisnis yang berjalan di area itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.