Lebaran tahun ini Yuli Yasmi bersama ketiga anaknya mengunjungi keluarga besar tanpa didampingi suami.
Kebersamaan yang dijalani Yuli pada Lebaran tahun ini diselimuti kesedihan.
Pasalnya, sang suami kini 'disandera' di Myanmar dan menjadi korban penipuan online sejak September 2023 lalu.
“Sesenyum-senyumnya saya pas kumpul dengan keluarga besar tetap saja hati tidak lapang. Tidak akan lapang sampai suami pulang ke Indonesia dengan selamat,” kata Yuli.
Di saat Lebaran, kata Yuli, suaminya adalah sosok yang dirindukan keluarga besar karena selalu melayangkan candaan yang membuat ketawa.
Baca juga: Myanmar Berlakukan Wajib Militer, Ribuan Pemuda Berusaha Tinggalkan Negara
“Biasa juga pas Lebaran, dia masak simpel karena sudah bosan masakan Lebaran. Dia masak mi instan yang enak, diracik dengan ciri khas dia,” kenang Yuli.
Namun semua kenangan indah itu kini sirna.
Yuli hanya bisa melihat dan mendengar suami melalui panggilan telepon. Dan, kabar-kabar buruk yang dia terima.
“Tadi malam [Rabu] suami saya cerita kondisi di sana semakin banyak siksaan. Suami juga tanya kapan pemerintah bisa jemput."
"Sehari di sana itu sangat berat, kerja tanpa henti, belum lagi ada target yang dibayangi ancaman hukuman,“ kata Yuli.
Dia bercerita terdapat dua cara suaminya dapat pulang, yaitu dijemput pemerintah atau membayar uang tebusan sebesar Rp50 juta.
”Sampai anak yang paling kecil bilang, ‘Ibu kalau aku punya uang Rp50 juta, aku kasih biar ayah pulang Ibu’. Saking kangennya sama ayahnya,” kata Yuli disambut isak tangis.
Yuli menambahkan, dia dan istri korban lainnya telah berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia mengenai masalah yang dihadapi.
“Kemlu ada tanggapan, katanya masih dalam pergerakan. Tapi jangkauan dari dua hingga tiga bulan ini memang belum terlihat hasilnya. Hanya itu per hari ini dari Kemlu,“ ujarnya.
“Melalui penyampaian nota diplomatik ke Kemlu Myanmar, mengadakan pertemuan dengan otoritas terkait seperti kepolisian dan imigrasi Myanmar, serta kerja sama dengan masyarakat sipil,” kata Judha.
“Koordinasi juga dilakukan dengan perwakilan negara asing di Myanmar yang menghadapi kasus serupa antara lain Sri Lanka, RRT, Filipina, Vietnam, Thailand, Nepal, dan India,” tambahnya.
Selain itu, Judha menambahkan, Kemlu juga menjalin komunikasi dengan kelima keluarga korban.
Baca juga: Pakar Pendidikan Nilai Kampus Sebenarnya Bisa Antisipasi TPPO Modus Ferienjob
“Komunikasi intensif dan rutin dilakukan baik melalui pertemuan daring maupun melalui Whatsapp grup untuk menyampaikan update berbagai upaya yang dilakukan Pemri untuk membebaskan anggota keluarganya,” tambahnya.
Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia, Rina Komaria, menambahkan Kemlu juga telah mengunjungi salah satu keluarga korban untuk menyampaikan secara langsung perkembangan kasus dan membesarkan hati mereka.
“Kami sangat memahami dan mengerti perasaan keluarga. Kami juga sangat mengharapkan para WNI dapat segera keluar dari sana dan kita upayakan semuanya,“ kata Rina.
Selain itu, lanjutnya, Kemlu juga sudah berkoordinasi dengan kementerian terkait dan juga pemerintah daerah untuk memberikan atensi bagi para keluarga korban, terutama untuk menjaga kondisi psikologis mereka.
Sejak tahun 2020 pemerintah Indonesia telah menangani dan menyelesaikan lebih dari 3.700 kasus WNI yang terjerat penipuan online di delapan negara, termasuk Myanmar.
Baca juga: Salah Satu Tersangka Kasus TPPO di Jerman Guru Besar Universitas Jambi
Di wilayah-wilayah konflik tersebut, kata Judha selaku Kemlu, Tatmadaw maupun otoritas penegak hukum Myanmar tidak memiliki kontrol penuh.
Wilayah tersebut juga dikuasai banyak kelompok etnis bersenjata yang memiliki kepentingan masing-masing.
“Hal ini yang menyebabkan proses penyelamatan para WNI menghadapi kesulitan yang sangat kompleks,” kata Judha.
Selain itu, menurut peneliti ASEAN, Adriana Elisabeth, hambatan lain dalam menyelamatkan WNI di Myanmar karena adanya kekosongan kesepakatan di wilayah Asia Tenggara dalam menangani kejahatan lintas negara yang melibatkan kelompok pemberontak.
Baca juga: Polri: 3 Tersangka Kasus TPPO Magang ke Jerman Tidak Ditahan
“Prinsip ASEAN itu kalau pemberontakan domestik, tidak ada negara lain yang intervensi. Namun, ini korbannya WNI, dan melibatkan kejahatan dan transaksi ilegal lintas negara."
"Secara hukum bagaimana penyelesaiannya? Ini problematiknya. Belum ada rumusan yang jelas di ASEAN tentang ini,” kata Adriana.
Untuk itu, menurutnya, perlu ada forum khusus di ASEAN untuk membahas permasalah tersebut, yang berfokus pada dampak dari kejahatan yang lintas negara.
“Efek yang sifatnya lintas negara itu yang menurut saya harus disepakati, bagaimana penanganannya. Itu kan harus ada kerjasama antara Indonesia dengan Myanmar, yang minimal yang di-back up oleh ASEAN secara komitmen,” kata Adriana.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan Edwin Martua Bangun Tambunan melihat Indonesia kini dihadapkan pada dua situasi yang luar biasa dalam mengevakuasi WNI di Myanmar.
Baca juga: Polisi Duga 30 Kg Sabu yang Hendak Diedarkan ke Jakarta Diproduksi di Myanmar
“Pertama, karena WNI yang akan dibebaskan adalah korban TPPO, yang dalam situasi normal saja membutuhkan koordinasi ekstra dengan pejabat keamanan Myanmar dan Thailand beserta jejaring lokal di kedua negara untuk membebaskannya,” kata Edwin yang mencontohkan pembebasan 20 WNI dari Myanmar tahun lalu.
Situasi selanjutnya, tambahnya, adalah upaya pembebasan dihadapkan pada konflik yang sedang berkecamuk antara pasukan pemberontak melawan aparat keamanan yang terdesak di Myanmar.
“Dengan demikian, koordinasi dan jejaring yang yang dimanfaatkan dulu kemungkinan sudah tidak efektif sehubungan dengan hadirnya pihak baru, yaitu kelompok pemberontak,” katanya.
Baca juga: Asal-usul Etnis Rohingya dan Kenapa Mengungsi dari Myanmar dan Bangladesh?