Elin mengaku menemukan dunia yang ia impikan ketika berada di tengah anak-anak didiknya.
Ia tidak peduli, apakah namanya masuk dalam Dapodik atau tidak, yang penting, mewujudkan cita-cita dan impiannya menjadi guru adalah keutamaan bagi dia.
Elin mengaku selalu merasa iba ketika melihat anak-anak sekolah berjalan kaki sejak pagi buta ke sekolah, dan lalu harus kecewa karena tidak ada pelajaran.
Entah karena kendala cuaca, atau para guru memiliki tugas lain yang tidak bisa ditinggalkan, kekosongan kelas kerap terjadi.
‘’Kasihan kalau melihat anak-anak di sekolah. Mereka sering tidak belajar karena terkendala hujan, dan kendala tugas para gurunya."
"Saya yakin mereka memiliki masa depan cerah, dan kita tidak boleh sia-siakan mereka dengan hanya berdiam diri saja. Sementara kita punya ilmu untuk diajarkan,’’ tegas dia.
Di SMP Filial Budi Luhur Sebakis yang menginduk dengan SMPN PGRI Nunukan, saat ini hanya diajar oleh tiga orang guru, dengan Kepala Sekolah.
Para guru harus mengajar semua mata pelajaran, dan memastikan anak didik mereka mengikuti semua kurikulum yang diharuskan.
‘’Jadi miris rasanya melihat anak-anak trans yang begitu semangat belajar, tapi karena fasilitas dan SDM kurang memadai, mereka harus ‘dikorbankan’."
"Membiarkan mereka tidak mengenyam pendidikan seperti anak-anak seusianya, rasanya kita berdosa,’’ kata Elin lagi.
Akibat namanya tidak masuk dalam Dapodik, upah Elin mengajar pun menjadi tidak menentu.
‘’Tahun 2022 saya dibayar Rp 1 juta setahun, tahun 2023 saya dibayar Rp 500.000 setahun."
"Itulah suami saya selalu menyuruh saya berhenti. Tapi saya bilang ini keinginan saya dan minta pengertian dia supaya saya bisa terus mengajar,’’ imbuh dia.
Elin mengaku tidak mempermasalahkan besaran upahnya. Ia hanya ingin anak-anak transmigrasi terus mengenyam pendidikan, bahkan hingga jenjang perguruan tinggi.
Setiap kali mengajar, Elin membawa serta anaknya. Ia tak pernah bosan ataupun merasa capek, ketika memberikan materi ajar bagi anak didiknya.