Apabila dikelola sendiri, penghasilannya bisa saja lebih dari itu. Hanya saja di satu sisi, hal itu akan menyita waktu dan berisiko mengganggu tugas sebagai marbut.
Apalagi lokasi lahan dengan tempat tinggalnya cukup jauh karena sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bima.
"Hasilnya tidak seberapa, karena lahan itu kita sewakan ke orang lain paling tinggi berani disewa petani itu Rp 6 juta per tahun," ungkapnya.
Selain menerima pendapatan tahunan sebesar Rp 6 juta dari hasil sewa lahan, setiap hari Jumat marbut yang ada juga menerima bagian dari hasil kotak amal yang terkumpul.
Nilainya bervariasi, ada yang Rp 20.000 dan terkadang sampai Rp 50.000 per orang.
"Paling tinggi kita dapat itu Rp 50.000. Hanya dari ini saja pendapatan kita, di luar itu tidak ada lagi," ujarnya.
Menurutnya, upah yang diterima sebagai marbut tidak seberapa dan belum mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, Hamzah mengaku menjual daging ayam di Pasar Raya Ama Hami setiap shalat Subuh.
Usaha tersebut digeluti setelah menyadari tenaganya tak lagi kuat untuk menjadi buruh di sebuah toko di Kota Bima.
Meski pendapatan berjualan tak seberapa, namun baginya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian dan tabungan untuk hari tuanya.
"Alhamdulillah, hasil tidak banyak tapi cukup untuk kebutuhan setiap hari keluarga di rumah, jadi tidak begitu bergantung hasil jadi marbut ini," kata Hamzah.
Menurutnya menjadi marbut adalah bagian dari pengabdian. Bukan untuk mencari materi, tugas itu dilaksanakannya demi beribadah kepada Sang Pencipta.
Baca juga: Jadi Marbut Diupah Rp 500 Ribu, Sophia Ikhlas demi Dekat dengan Tuhan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.