Salin Artikel

Cerita Hamzah 8 Tahun Jadi Marbut di Masjid Sultan Bima, Dapat Hak Kelola Sawah

Ayah tiga orang anak itu dulunya adalah seorang buruh serabutan yang bekerja di sebuah toko di Kota Bima.

Puluhan tahun banting tulang untuk menafkahi hidup keluarga, Hamzah akhirnya sampai pada titik di mana tubuh kekarnya tak lagi kuat mengangkat beban berat.

Kepada Kompas.com, pria 61 tahun ini mengisahkan awal perjalanan hidupnya menjadi marbut di Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima.

Masjid itu adalah salah satu masjid tertua yang dibangun tahun 1770 dan terletak di kompleks Istana Kerajaan Bima, tepatnya di Jalan Soekarno-Hatta Kota Bima.

Hamzah mengaku sudah delapan tahun menjadi salah satu marbut di masjid bersejarah tersebut.

"Sekarang sudah masuk delapan tahun. Dulu kerja sebagai buruh tapi saya sudah tidak kuat angkat beban berat makanya berhenti dan jadi marbut," ucapnya, Jumat (22/3/2024) siang.

Sebagai marbut, ia bertugas membersihkan semua ruangan dan halaman masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima, sesekali juga harus menjadi muazin (pengumandang azan).

Dalam sebulan, tugas tersebut hanya dilakukan selama 14 hari, waktu sisanya diisi marbut lain sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus masjid.

Hamzah mengaku tidak memperoleh pendapatan bulanan sebagai marbut masjid.

Namun, dia bersama marbut lainnya diberi hak kelola atas lahan sawah masing-masing seluas 5.000 meter persegi oleh Yayasan Islam Bima.

Lahan tersebut bisa dikelola sendiri oleh para marbut dan juga bisa disewakan ke orang lain yang ingin bertani.

Hasil dari pengelolaan atau penyewaan lahan itu nantinya bisa langsung diambil oleh para marbut untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menurut dia, dengan luas sekitar 5.000 meter persegi, marbut bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp 6 juta per tahun jika lahan disewakan ke orang lain.

Apabila dikelola sendiri, penghasilannya bisa saja lebih dari itu. Hanya saja di satu sisi, hal itu akan menyita waktu dan berisiko mengganggu tugas sebagai marbut.

Apalagi lokasi lahan dengan tempat tinggalnya cukup jauh karena sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bima.

"Hasilnya tidak seberapa, karena lahan itu kita sewakan ke orang lain paling tinggi berani disewa petani itu Rp 6 juta per tahun," ungkapnya.

Selain menerima pendapatan tahunan sebesar Rp 6 juta dari hasil sewa lahan, setiap hari Jumat marbut yang ada juga menerima bagian dari hasil kotak amal yang terkumpul.

Nilainya bervariasi, ada yang Rp 20.000 dan terkadang sampai Rp 50.000 per orang.

"Paling tinggi kita dapat itu Rp 50.000. Hanya dari ini saja pendapatan kita, di luar itu tidak ada lagi," ujarnya.

Menurutnya, upah yang diterima sebagai marbut tidak seberapa dan belum mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, Hamzah mengaku menjual daging ayam di Pasar Raya Ama Hami setiap shalat Subuh.

Usaha tersebut digeluti setelah menyadari tenaganya tak lagi kuat untuk menjadi buruh di sebuah toko di Kota Bima.

Meski pendapatan berjualan tak seberapa, namun baginya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian dan tabungan untuk hari tuanya.

"Alhamdulillah, hasil tidak banyak tapi cukup untuk kebutuhan setiap hari keluarga di rumah, jadi tidak begitu bergantung hasil jadi marbut ini," kata Hamzah.

Menurutnya menjadi marbut adalah bagian dari pengabdian. Bukan untuk mencari materi, tugas itu dilaksanakannya demi beribadah kepada Sang Pencipta.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/23/032000278/cerita-hamzah-8-tahun-jadi-marbut-di-masjid-sultan-bima-dapat-hak-kelola

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke