Dia mengaku, kesulitan mendapatkan pupuk yang murah karena tidak mempunyai kartu tani. Biasanya, dia menitipkan pupuk ke temannya yang mempunyai kartu tani.
"Tapi, pupuk dari kelompok tani desa yang sampai ke teman saya juga telat. Akhirnya, padi saya seperti ini," keluh dia.
Beberapa waktu yang lalu, Sutrisno juga pernah bertanya kepada keluarga perihal pembuatan kartu tani itu. Namun, jawabannya kurang memuaskan.
"Katanya harus nunggu satu tahun," papar dia.
Baca juga: Petani Keluhkan Harga Gabah di Lamongan yang Kini Anjlok
Jika terpaksa, dia membeli pupuk yang bukan subsidi dari pemerintah demi padi yang dia tanam meski dengan harga yang lebih malah.
"Kalau tidak subsidi Rp 200.000 mendapatkan 50 kilogram pupuk. Tapi, kalau dari kartu tani Rp 160.000 bisa mendapatkan 50 kilogram pupuk," kata dia.
Kekhawatiran Sutrisno benar terbukti. Sampai saat ini tidak ada orang yang berniat membeli padi yang ditanamnya.
Biasanya, di Maret sudah banyak pembeli yang berdatangan untuk menawar padinya. Namun, saat ini benar-benar sepi karena kekurangan pupuk.
"Sampai sekarang ini belum ada pembeli yang masuk. Biasanya kalau seperti ini sudah ada dua-tiga orang ke sini," ujar dia.
Sudah beberapa tahun sawahnya kesulitan mendapatkan air. Hal itu membuat padinya terserang penyakit kuning yang dapat mempengaruhi bertumbuhnya bibit padi.
"Kalau kemarau kemarin, sempat kekurangan air. Hal itu membuat hasil panen berkurang," kata Rasman, saat ditemui di sawahnya.
Baca juga: Krisis Regenerasi Petani...
Hama yang menyerang tanamannya itu membuat harga jual padinya anjlok hingga jutaan rupiah.
"Biasanya sekali panen bisa dapat Rp 5 juta. Sekarang hanya Rp 2 juta," keluh dia.
Meski demikian, dia tetap bersyukur karana tanaman padinya tidak sampai gagal panen. Apalagi, menjadi petani adalah satu-satunya pekerjaannya.
"Kalau anak sudah besar-besar. Sudah cari uang sendiri-sendiri. Ini saya untuk hidup saja," ucap Rasman.