DEMAK, KOMPAS.com - Hasil panen masa tanam padi pertama atau MT1 adalah momen yang ditunggu-tunggu para petani di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Sistem tanam padi-padi-palawija atau MT1, MT2, dan MT3 di Demak berdampak pada hasil panen melimpah dan harga gabah yang melambung.
Dalam setahun, lahan sawah diberi jeda satu musim untuk tidak ditanam padi, sehingga kualitas panen padi MT1 tak pernah gagal dan menjadi penentu untuk menyambung roda ekonomi dan persiapan tanam mendatang.
Untuk itu tidak heran, apabila para petani kecil mengalokasikan seluruh harta benda mereka untuk bisa bertanam pada MT1, baik dengan cara menjual barang berharga atau dengan hutang ke bank.
Baca juga: Petani Keluhkan Harga Gabah di Lamongan yang Kini Anjlok
Hal itu, salah satunya dirasakan Mansur (59) petani Desa Wonoketingal, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak.
Memasuki akhir tahun 2023, Mansur sempat kelimpungan menghadapi kekeringan panjang dampak el-nino yang mengakibatkan MT1 molor sebulan lebih.
Sebagian uang simpanan yang dialokasikan menggarap sawah MT1 terpaksa digunakan untuk bertahan hidup lantaran sungai irigasi kering kerontang.
Sekitar Oktober 2023 setelah sungai irigasi mengalir, Mansur mulai persiapan lahan untuk bertanam padi dengan mengalokasikan seluruh harta bendanya dan menyimpan sebagian untuk bertahan hidup selama tiga bulan ke depan.
Namun impian itu seolah menjadi mimpi buruk bagi Mansur, genap 90 hari padi siap panen yang ditunggu-tunggu diterjang banjir dampak jebolnya sungai Wulan pada Kamis (8/2/2024).
Mansur tidak menyangka, banjir di wilayah perbatasan Kudus itu juga sampai ke kampungnya jelang sehari.
"Garapan saya itu 1,5 hektare, sekarang merah-merah gitu tidak ada harapan sama sekali. Saya pulang dari jumatan tiba-tiba air itu tut-tut," katanya Minggu (3/3/2024).
Ibarat jatuh tertimpa tangga, rumah Mansur hancur begitu juga hasil tanam padi yang sudah dinantikan bersama anak dan istri kini menyisakan impian belaka.
"Bagi kami rakyat kecil itu sangat besar sekali. Kebetulan rumah saya juga rumah triplek pada klotok-klotok (mengelupas)," ungkapnya.
"Hari Jumat terjadi banjir Sabtu-Ahad itu mau di-combine, tapi terjadi (banjir). Jumat itu (padi) sudah tenggelam semua," imbuhnya.
Mansur enggan membeberkan biaya yang ia keluarkan untuk menggarap sawah, yang pasti hasil tanamnya sempat ditawar tengkulak Rp 85 juta dengan sistem beli di pohon.
"1,5 hektare itu ditawar yang dua bahu ditawar Rp 70 juta, yang setengah ditawar Rp 15 (juta)," katanya.
Mansur kini hanya bisa pasrah kepada pencipta, sembari berharap ada uluran tangan untuk menata ekonomi dari awal.
"Harapannya bibit dan pupuk itu, karena ini sudah nol sama sekali, saya bilang istilahnya balik mijar gitu, cara in-inan orang jawa," tuturnya.
Nasib serupa juga dialami Supriyanto (51), Petani Desa Cangkring Pos, Kecamatan Karanganyar.