Salin Artikel

Kisah Petani di Semarang, Terpaksa Menjadi Buruh Bangunan karena Padi Dibeli Murah

SEMARANG, KOMPAS.com - Tatapan sendu terlihat di mata Sutrisno (54), petani asal Srimulyo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Bagaimana tidak, padi yang dia tanam hampir gagal panen karena kekurangan pupuk. Hal itu membuat padinya tidak tumbuh dengan sempurna.

Meski begitu, dia tetap sabar menjaga tanamannya itu layaknya seorang bayi. Berbagai cara telah dia lakukan, namun tak berhasil.

Di sebuah gubug kecil yang berada di tengah sawahnya itu dia menjaga tanamannya dari serangan hama dan burung. Sesekali Sutrisno juga terlihat memijat kakinya.

"Saya tadi habis periksa. Saraf saya sakit. Harus setiap hari minum obat. Kalau tidak, kaki saya tak bisa jalan," kata Sutrisno, bercerita kepada Kompas.com, Selasa (5/3/2024).

Dia mengaku, sudah menjadi petani sejak kecil. Namun, kondisi petani dulu dan sekarang jauh berbeda.

"Sekarang tak bisa diharapkan. Paling hanya bisa buat makan," ucap Sutrisno, mengenang masa lalu.

Meski mempunyai riwayat sakit saraf, terkadang Sutrisno juga ikut bekerja menjadi buruh bangunan untuk tambahan pemasukan.

"Ini kondisinya padi saya tak terlalu normal karena telat pupuk," kata Sutrisno, memperlihatkan padi yang rusak.

"Tapi, pupuk dari kelompok tani desa yang sampai ke teman saya juga telat. Akhirnya, padi saya seperti ini," keluh dia.

Beberapa waktu yang lalu, Sutrisno juga pernah bertanya kepada keluarga perihal pembuatan kartu tani itu. Namun, jawabannya kurang memuaskan.

"Katanya harus nunggu satu tahun," papar dia.

Jika terpaksa, dia membeli pupuk yang bukan subsidi dari pemerintah demi padi yang dia tanam meski dengan harga yang lebih malah.

"Kalau tidak subsidi Rp 200.000 mendapatkan 50 kilogram pupuk. Tapi, kalau dari kartu tani Rp 160.000 bisa mendapatkan 50 kilogram pupuk," kata dia.

Tak ada yang beli

Kekhawatiran Sutrisno benar terbukti. Sampai saat ini tidak ada orang yang berniat membeli padi yang ditanamnya.

Biasanya, di Maret sudah banyak pembeli yang berdatangan untuk menawar padinya. Namun, saat ini benar-benar sepi karena kekurangan pupuk.

"Sampai sekarang ini belum ada pembeli yang masuk. Biasanya kalau seperti ini sudah ada dua-tiga orang ke sini," ujar dia.

Sudah beberapa tahun sawahnya kesulitan mendapatkan air. Hal itu membuat padinya terserang penyakit kuning yang dapat mempengaruhi bertumbuhnya bibit padi.

"Kalau kemarau kemarin, sempat kekurangan air. Hal itu membuat hasil panen berkurang," kata Rasman, saat ditemui di sawahnya.

Hama yang menyerang tanamannya itu membuat harga jual padinya anjlok hingga jutaan rupiah.

"Biasanya sekali panen bisa dapat Rp 5 juta. Sekarang hanya Rp 2 juta," keluh dia.

Meski demikian, dia tetap bersyukur karana tanaman padinya tidak sampai gagal panen. Apalagi, menjadi petani adalah satu-satunya pekerjaannya.

"Kalau anak sudah besar-besar. Sudah cari uang sendiri-sendiri. Ini saya untuk hidup saja," ucap Rasman.


Upaya pemerintah

Kepala Dinas Pertanian Kota Semarang Hernowo Budi Luhur mengaku sudah mempersiapkan antisipasi ancaman krisis pangan saat kemarau di 2023.

Dia menuturkan, saat ini, lahan untuk pertanian di Kota Semarang tinggal 1.600 hektar.

"Ada 40 persen luasan wilayah Kota Semarang ini merupakan lahan hijau. Itu yang kita optimalkan juga," ujar dia.

Untuk itu, Pemerintah Kota Semarang saat ini sedang mengembangkan urban farming karena dianggap lebih cocok untuk wilayah perkotaan.

"Sebelum ada peringatan itu kita sudah melakukan upaya budidaya urban farming juga," imbuh dia..

Urban farming menjadi salah satu solusi karena lahan pertanian di Kota Semarang terbatas.

"Kita sudah ada Peraturan Wali Kota Semarang atau Perwal soal urban farming juga," papar dia.

Melalui peraturan tersebut, warga bisa memanfaatkan semua potensi di lahan Kota Semarang untuk dilakukan gerakan urban farming secara masif.

"Kita sudah melakukan itu beberapa tahun yang lalu," ujarnya.

Dia menegaskan, untuk menghadapi ancaman inflasi dan krisis pangan pada 2023 mendatang tak cukup pemerintah saja yang bergerak.

"Harus ada sinergi semua elemen pemerintah dan warga," pesan dia.

Soal pupuk, lanjut dia, Pemerintah Kota Semarang tengah menggalakkan penggunaan pupuk organik di kalangan petani lokal.

Tujuannya untuk menangani penggunaan pupuk kimia secara berlebih yang selama ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

“Karena selama ini kebiasan mereka menggunakan pupuk kimia yang berlebih. Upaya kita adalah menggelorakan penggunaan pupuk organik di kalangan petani,” imbuh dia.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/05/221532078/kisah-petani-di-semarang-terpaksa-menjadi-buruh-bangunan-karena-padi-dibeli

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke