"Kami prihatin dengan kondisi ini dan berharap semua pihak dapat menahan diri, serta bersama-sama mencari solusi untuk menyelamatkan satwa liar."
"Khususnya gajah sumatera dan orangutan sumatera sebagai aset dan kebanggaan bangsa Indonesia," kata Donal.
Donal meminta masyarakat memahami jika ruang jelajah gajah sudah menyempit, akibat pembukaan kawasan hutan untuk tanaman sawit.
"Kawasan hutan sebagai rumah gajah sudah berubah menjadi kebun sawit, dampaknya ruang jelajah gajah menyempit," kata Donal.
Sementara itu, Peter Pratje Direktur FZS Indonesia menuturkan, gajah pada dasarnya dapat hidup berdampingan dengan manusia seperti di India dan Srilanka.
Untuk mendorong agar manusia dapat hidup berdampingan dengan gajah, FSZ sudah menghabiskan waktu selama 10 tahun untuk melatih petani, agar terbiasa dengan gajah.
"Ada 30 kelompok masyarakat yang dilatih untuk meredam konflik."
"Kemudian membentuk 30 orang dalam komunitas peduli gajah serta mengerahkan 16 staf lapangan terlatih untuk memitigasi konflik antara gajah dan manusia," kata Peter.
Ia mengatakan agar konflik dengan gajah mereda, masyarakat yang membuka kawasan hutan untuk kebun, harus bertani multikultur.
Namun, yang terjadi justru masyarakat memilih monokultur sawit. Padahal tanaman ini termasuk makanan kesukaan gajah.
Hasil riset FZS, untuk tanaman terbaik di kawasan hutan adalah tanaman campur seperti durian, petai, kopi, dan vanili.
Dengan demikian potensi gangguan nyaris tidak ada, namun nilai ekonominya tetap tinggi.
Selanjutnya, BKSDA Jambi akan membagikan alarm pendeteksi suara gajah hasil penelitian Universitas Gadjah Mada.
Setelah terdeteksi adanya gajah dekat kebun warga, mereka dapat mengaktifkan pagar listrik yang sesuai standar, untuk menghindari kerusakan tanaman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.