Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nestapa Pengungsi Nduga Papua, Bertahun-tahun Terusir dari Rumah, Kini Hak Suara Direnggut Paksa

Kompas.com - 15/02/2024, 06:06 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ratusan orang asal Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, telah mengungsi selama hampir enam tahun tanpa tahu kapan bisa pulang dan hidup dengan sedikit sentuhan dari pemerintah. Namun, nestapa mereka tidak berhenti di situ.

Mereka mengaku hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia direnggut karena tidak dapat menyalurkan hak suara pada Pemilu 2024.

Mereka pun mempertanyakan komitmen negara, apakah mengakui mereka sebagai warga negara Indonesia atau tidak.

Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, bertemu dengan para pengungsi yang kini hidup dalam ‘keterbatasan dan stigmatisasi’ di pinggiran Wamena, di provinsi yang baru dimekarkan melalui kebijakan pemerintahan Joko Widodo.

Baca juga: Nduga Masuk Wilayah Rawan, Pemungutan Suara Dimungkinkan Terpusat di Kenyam

Tangis Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga, pecah ketika mengenang trauma yang melukai hidupnya enam tahun lalu.

Dia bercerita rumahnya dan warga lain di Nirkuri hangus terbakar. Konflik bersenjata berkecamuk antara aparat keamanan TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), pimpinan Egianus Kogoya.

“Kini tinggal gereja yang berdiri, mungkin hanya rangka dan seng saja. Tidak ada orang di sana lagi, semua jadi pengungsi,“ kata Elkana yang kini mengungsi di wilayah Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, Sabtu (10/02).

Rentetan konflik bersenjata terjadi di Nduga pada tahun 2018. Saat itu, terjadi penyerangan di ibu kota Nduga, Kenyam, yang menewaskan tiga orang. Lalu diikuti penembakan dua pesawat Trigana, hingga akhirnya mencapai puncak saat belasan pekerja PT Istaka Karya yang mengerjakan proyek Trans Papua di Gunung Kabo, dibunuh pada akhir tahun itu.

Baca juga: Pangdam Sebut Sejumlah Kampung di Nduga Kosong Ditinggal Warganya Mengungsi karena Takut KKB

Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga.BBC Indonesia Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga.
Pemerintah lalu merespons pembunuhan itu dengan melakukan operasi militer. Pasukan keamanan gabungan dikerahkan untuk mengejar para pelaku yang berasal dari TPNPB-OPM.

Membawa ketiga anaknya yang masih kecil dan tanpa bekal, Elkana berjalan kaki menyusuri belantara hutan pegunungan yang dingin untuk menyelamatkan diri.

Hal sama juga dialami ratusan warga lain dari kampungnya. Mereka terpisah-pisah. Ada yang mengungsi ke Lanny Jaya, Timika, Yahukimo, Wamena, dan wilayah lainnya.

Hampir seminggu menyusuri hutan, Elkana tiba di Wamena dan kemudian menetap hingga sekarang di Ilekma.

Enam tahun berlalu, rasa rindu kampung halaman tidak pernah hilang. Kenangan kebersamaan antara dirinya dengan warga kampung membuat matanya kembali berlinang.

Baca juga: Lagi, 2 Prajurit TNI Gugur Usai Diserang KKB di Nduga

“Setiap Natal selalu kumpul bersama orang tua di kampung, bakar batu, makan bersama. Tapi sekarang sudah pecah belah antara satu sama lain, dan mengungsi cari kehidupan masing-masing,“ katanya.

Apa yang dialami oleh Elkana masih terus terjadi dan dialami warga Nduga hingga kini. Pada Februari 2023 dilaporkan puluhan warga Distrik Paro mengungsi ke Kenyam, setelah terjadi pembakaran pesawat pilatus milik Susi Air.

Kemudian pada Juli 2023, sebanyak 63 warga Distrik Kroptak, Nduga, berjalan empat hari untuk mengungsi ke Kenyam.

Konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan TPNPB-OPM pun terus memanas hingga sekarang.

Baca juga: 4 Prajurit TNI yang Gugur Ditembak KKB di Nduga Akan Dapat Kenaikan Pangkat Luar Biasa

Pilot asal Selandia Baru Philips Mark Mehrtens yang masih disandera kelompok Egianus seakan-akan menutup pintu terjadinya penurunan tensi keamanan di Nduga.

"Apakah kami bukan bagian dari Indonesia?"

Warga pengungsi Nduga di wilayah Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, Sabtu (10/02).BBC Indonesia Warga pengungsi Nduga di wilayah Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, Sabtu (10/02).
Trauma masa lalu itu kembali muncul ketika Elkana bicara tentang Pemilu 2024. Dia merasa kecewa karena hak suaranya sebagai warga negara Indonesia dirampas secara paksa.

Elkana mengatakan, para pengungsi di wilayahnya dan juga mayoritas pengungsi Nduga, tidak bisa memilih.

Mereka kini hanya menjadi penonton dalam gegap gempita pesta demokrasi.

KPU memutuskan pelaksanan pemilu untuk Elkana dan warga lain dari 29 distrik dipusatkan di ibu kota Kabupaten Nduga, Kenyam.

Harapan para pengungsi agar disediakan tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah mereka, kata Elkana, sirna.

Baca juga: Quick Count Litbang Kompas Data 73,5 Persen: Prabowo Unggul 80,8 Persen di Maluku-Papua

Padahal, untuk ke Kenyam, para pengungsi harus menggunakan pesawat kecil berbiaya jutaan rupiah. Hal yang tidak mungkin mereka lakukan karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.

“Sistem perwakilan sekarang kami tidak puas. Kami tidak tahu yang memilih atas nama kami itu memilih siapa. Tidak ada musyawarah. Jadi kami tidak tahu sama sekali suara kami ke mana,” katanya.

”Mereka anggap kami ini tidak punya hak untuk memilih. Apakah kami bukan bagian dari negara Indonesia? Kami kan bagian dari Indonesia” keluh Elkana.

Di Kabupaten Nduga pelaksanaan pemilu dilakukan dengan sistem noken.

Varian dari metode ini salah satunya dikenal dengan istilah sistem kesepakatan dan bungkus. Artinya, dukungan suara pemilih di salah satu kampung diberikan kepada calon tertentu.

Baca juga: 11 Kabupaten di Papua Tengah dan Pegunungan Pakai Sistem Noken pada Pemilu 2024

Proses pengambilan keputusan ini harusnya dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan seluruh warga. Setelah diputuskan maka diutus perwakilan untuk menyampaikan kesepakatan itu.

Namun, Elkana mengatakan, kenyataannya warga pengungsi di wilayahnya tidak dilibatkan dalam musyawarah.

"Bapak tolong kasih kami pulang"

Yabanggal Wandikbo, pengungsi Nduga.BBC Indonesia Yabanggal Wandikbo, pengungsi Nduga.
Ungkapan kekecewaan juga bergema di wilayah pengungsian lain.

Saya menuju salah satu pusat pengungsian warga Nduga di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Wamena.

Barisan gunung menemani perjalanan saya untuk bertemu Yabanggal Wandikbo.

Mama tiga anak ini mengungsi pada 2018 dari Nduga ke Lanny Jaya, hingga akhirnya tiba di Sekom empat tahun lalu.

Hal pertama yang diungkapkan oleh Yabanggal saat bertemu saya adalah “Bapak-Bapak yang baik tolong kasih kami pulang ke rumah. Saya cuma ingin itu, mau pulang,“ katanya dengan bahasa Nduga.

Baca juga: TNI Kerahkan Helikopter Super Puma Kirim Kotak Suara Ke TPS di Papua

Saya terdiam sesaat mendengar itu.“Saya minta maaf atas kondisi yang Mama alami,“ ujar saya yang kemudian diartikan ke bahasa Nduga oleh seorang warga.

Di sela-sela aktivitasnya membersihkan kebun, Yabanggal yang mengaku pertama kali membangun rumah pengungsi di Sekom merasa sedih karena dia tidak bisa memilih.

Yabanggal bercerita ingin memilih pemimpin yang bisa membawa para pengungsi pulang ke kampung halaman dengan aman.

“Kami punya hak itu sudah diabaikan dan tidak dihargai. Pemilihan di Kenyam tidak tahu pilih siapa, tidak tahu apakah peduli sama kami pengungsi ini atau tidak,“ ujarnya.

Para pengungsi Nduga di Sekom berasal dari beragam wilayah, seperti di antaranya Mapenduma, Yigi, dan Mugi.

Baca juga: Pencoblosan 4 Kabupaten di Papua Tertunda, Ada Kendala Distribusi Logistik

Kini terdapat sekitar 67 kepala keluarga yang tinggal di sini.

Seorang pengungsi Broangen Wanikbo yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak.

“Kami dari ujung pukul sana yang di atas, sampai bawah, tidak memiliki hak memilih, karena TPS tidak ada di sini."

"Suara sudah bawa ke Kenyam. Dan kami pengungsi dimana pun kami tidak memilih,“ kata Broangen dalam bahasa Nduga.

"Surat suara itu tidak sah"

Yabanggal Wandikbo, pengungsi Nduga, bersama ketiga anaknyaBBC Indonesia Yabanggal Wandikbo, pengungsi Nduga, bersama ketiga anaknya
Ketua Kelasis Mugi Gereja KINGMI yang saya temui di Sekom, Pendeta Kones Kogeya menegaskan bahwa suara warga pengungsi digunakan tanpa adanya persetujuan dan musyawarah.

Dengan tegas Kones mengatakan bahwa surat suara itu adalah tidak sah.

“Mereka pergi ke Kenyam, pengungsi tinggal. Mereka hanya cari keuntungan sendiri. Suaranya tidak sah itu,” katanya.

Menurut Kones, pemilu 2024 adalah peristiwa penting bagi para pengungsi untuk memilih pemimpin yang peduli pada nasib mereka.

Namun, harapan itu kini menjadi kekecewaan.

Baca juga: Pj Gubernur Papua Barat Daya Pastikan Distribusi Logistik Pemilu Lancar

Kementerian Sosial, pada tahun 2019, mencatat setidaknya terdapat 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik, dari Wamena, Lanny Jaya, hingga Asmat.

Angka ini jauh dibawah data yang dihimpun Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga yang mengungsi.

Hingga kini belum ada satu data yang akurat mencatat jumlah pengungsi Nduga.

Ditarik lebih luas di Papua, menurut data KontraS, jumlah pengungsi internal korban konflik bersenjata telah mencapai lebih dari 60.000 per Desember 2022.

Mereka berasal dari Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak.

"Hak suara saya direnggut paksa"

Ester, warga Nduga berusia 17 tahun yang begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.BBC Indonesia Ester, warga Nduga berusia 17 tahun yang begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.
Dari Kampung Sekom saya kembali ke Wamena untuk bertemu warga Nduga Ester Sarahvina Wennay Payage yang kini berusia 17 tahun.

Berbicara tentang konflik bersenjata yang terjadi di kampungnya Nirkuri adalah hal yang memilukan bagi Ester.

Kenangan-kenangan indah masa kecil itu kini sirna.

Satu per satu keluarga yang dia cintai menjadi korban. Dan, kini pulang ke kampung menjadi kerinduan yang sangat mendalam baginya.

“Pengen sekali [pulang]. Mau liat nenek punya kuburan, adik mama punya kuburan, bersihkan halaman rumah saja. Sekarang tidak bisa, mau pulang saja sudah dicegah,“ ujarnya.

Baca juga: Jelang Pencoblosan, Polda Papua Barat Bentuk Satgas Anti-Politik Uang

Kenangan terakhir akan kampung adalah saat Ester masih berusia 10 tahun.

“Keluarga kita kumpul-kumpul, jemput kami di Bandara Yigi, naik ke Nirkuri di gunung atas. Ramai kita jalan kaki sama-sama ke nenek punya rumah,“ katanya.

Berangkat dari pengalaman pahit itu, Ester begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.

Dia ingin memilih calon yang dapat memimpin para pengungsi memperjuangkan hak mereka. Apalagi, tahun ini menjadi pemilu pertama bagi Ester untuk menyalurkan hak suaranya.

Namun, semangat itu berubah jadi amarah karena hak suaranya dia sebut “direnggut paksa“.

Baca juga: Bawaslu Ungkap 4.211 TPS Sulit Dijangkau, Belum Termasuk Papua

“Kami kan warga negara ini. Kami wajib memilih. Tapi kami tidak bisa, kenapa hak-hak kami direnggut paksa satu per satu?” kata Ester yang kini berkuliah mengambil jurusan hukum untuk memperjuangkan hak pengungsi Nduga.

Senada, seorang pemuda Nduga yang merupakan salah satu kordinator pengungsi Nduga tahun 2018, Arim Tabuni mengatakan hak hidup para pengungsi telah dicabut dari kampung halaman, dan kini hak suara mereka pun dirampas.

”Orang sakit pasang infus saja bisa memilih, orang sakit jiwa bisa memilih, tapi kami warga pengungsi Nduga yang sehat kenapa tidak bisa?”

”Di negara lain mereka buat tenda darurat tempat pemilihan untuk pengungsi, tapi negara ini tidak ada,” katanya.

Setiap warga negara Indonesia dilindungi oleh undang-undang untuk dapat memilih maupun dipilih.

Baca juga: Orang Rimba yang Ikut Pemilu Tersesat di Kertas Suara

Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan”.

Gagal pulangkan pengungsi Nduga

Seorang pengungsi Broangen Wanikbo (kanan) yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak itu.BBC Indonesia Seorang pengungsi Broangen Wanikbo (kanan) yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak itu.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar, mengatakan hilangnya hak suara pengungsi Nduga tidak lepas dari adanya kepentingan negara. Mulai dari penyelenggara dan peserta pemilu, pemerintah hingga aparat keamanan.

”Hak politik mereka direnggut negara, digunakan oleh negara untuk kepentingan penguasa. Kenapa negara? Karena itu terjadi secara sistemik dan terstruktur dilakukan,” katanya yang juga melakukan pemantauan pemilu pengungsi Nduga pada tahun 2019 lalu.

Anum mencontohkan, mayoritas distrik di Nduga telah ditinggalkan oleh warganya, seperti Distrik Paro yang menjadi pusat konflik bersenjata dan penahanan pilot Selandia Baru.

Baca juga: Pemilu 2024 di IKN, Warga: Suara Kami Diminta, tapi Tidak Pernah Didengarkan

Namun Anum memprediksi bahwa surat suara warga Paro, dan wilayah lain akan digunakan semua. Padahal mereka yang memiliki suara itu kemungkinan besar tidak dilibatkan dalam pemilu.

“Coba cek nanti di Paro, Mugi, Yal, yang tidak ada warga di sana, pasti ada suaranya. Demokrasi kita yang rusak, tapi mereka tidak punya pilihan, tidak punya daya tawar, karena hak pilihnya diambil alih penguasa,” tuding Anum.

Berkaca pada pengalaman 2019, kata Anum, pemilu saat itu dilakukan di Habema, perbatasan Nduga dan Jayawijaya. Para pengungsi dimobilisasi ke TPS yang dibuat sementara.

“Di sana yang milih tidak sampai 10 orang, jadi yang lain nonton. Mencoblos dalam jumlah besar pegang surat suara. Sekarang saya khawatir ini bertambah buruk karena terpusat di ibu kota,” katanya.

Baca juga: Soal Pemilu 2024, Menag: Perbedaan Tidak Perlu Lagi Dipertentangkan

Rentetan pelanggaran hak dasar yang dimiliki para pengungsi Nduga ini - dari hak untuk hidup, hak atas tempat tinggal hingga hak untuk memilih – menurut Anum merupakan dampak dari kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik bersenjata dan mengembalikan pengungsi ke kampung halaman mereka.

”Ini bukan soal Papua merdeka atau NKRI harga mati, tapi bagaimana setiap warga negara mendapatkan hak mendasarnya,” kata Anum.

Bertahun-tahun hidup dalam pengungsian, ujar Anum, warga Nduga juga mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.

“Mereka langsung dianggap sebagai kelompok yang melawan negara, padahal mereka adalah masyarakat sipil yang menjadi korban konflik bersenjata kedua belah pihak,” katanya.

Baca juga: Petugas KPPS Aceh Timur Meninggal Sehari Sebelum Pemilu

Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Theo Hasegem, melihat hilangnya hak politik para pengungsi ini semakin menegaskan pandangan bahwa mereka diposisikan sebagai ‘warga kelas dua’ yang secara sistematis didiskriminasi.

“Mereka bisa dikatakan warga kelas dua karena mereka tidak dilibatkan. Kita semua gagal dalam proses pemilihan ini,” kata Theo.

Pemilihan dipusatkan demi keamanan

Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga.BBC Indonesia Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga.
Berdasarkan data KPU Provinsi Papua Pegunungan, terdapat 445 TPS dari 32 distrik yang ada di Kabupaten Nduga pada pemilu 2024. Jumlah pemilih adalah 97.916 orang.

Pemilihan untuk 29 distrik dipusatkan di Kenyam. Tiga distrik lainnya yaitu Mbua, Dal, dan Iniye pemilihan dilakukan di masing-masing daerah itu.

Ketua KPU Provinsi Papua Pegunungan, Theodorus Kossay, mengatakan relokasi TPS yang dipusatkan di Kenyam karena pertimbangan dari sisi keamanan.

“Menurut surat yang kita dapat, berdasarkan hasil pertemuan Forkopimda, itu semata-mata karena kondisi keamanan dan juga surat dari pihak keamanan keluar,“ kata Theodorus.

Terkait dengan kekecewaan para pengungsi yang diungkapkan pengungsi ke saya, Theodorus mengaku belum mengetahuinya.

Baca juga: Pemilu saat Valentine, Pemilih Dapat Setangkai Bunga dan Cokelat

“Apakah masyarakat juga ikut diangkut ke sana, itu harus dipertimbangkan. Tapi dengar-dengar yang diangkut hanya penyelenggara pemilu saja.”

“Ini juga saya rasa menimbulkan tendensi konflik di masyarakat karena mereka tidak bisa hadir untuk melakukan sepakat di forum kesepakatan untuk memberikan suara ke siapa,“ tambahnya.

Namun Theodorus menegaskan bahwa dalam sistem noken kepala suku memiliki peran penting dalam memimpin musyarawah hingga mengambil keputusan.

“Itu [suara] jadi sah karena kesepakatan ada yang memimpin namanya kepala suku, yang hadir siapa-siapa saja dan dianggap sudah mewakili yang lain. Ada kekuasaan dari sang kepala suku,“ katanya.

Baca juga: Haedar Nashir Berharap Peserta Pemilu Legowo dan Tak Jemawa Terima Hasil Pemilu

Para pengungsi Nduga dan warga beribadah di Gereja Klasis Baliem Tengah, Jemaat Weneroma, Sinakma, Wamena.BBC Indonesia Para pengungsi Nduga dan warga beribadah di Gereja Klasis Baliem Tengah, Jemaat Weneroma, Sinakma, Wamena.
Theodorus pun menegaskan jika nanti dalam pelaksanaan relokasi TPS itu tidak sesuai aturan maka berpotensi akan menciptakan masalah ke depannya.

Sementara itu, guna mencegah potensi kecurangan yang terjadi dalam pemilihan, Theodorus mengatakan bahwa setiap TPS telah dilengkapi dengan formulir C kejadian khusus.

Kertas itu digunakan untuk mencatat setiap proses sistem noken, dari pengambilan kata sepakat, peran kepala suku, masyarakat yang terlibat hingga hasilnya.

Ketua Bawaslu Provinsi Papua Pegunungan, Fredy Wamo, melihat bahwa kekecewaan para pengungsi itu tidak lepas karena para pengambil keputusan tidak bisa menjangkau semua pengungsi Nduga yang tersebar di banyak wilayah.

“Mungkin kendalanya karena terpencar-pencarnya para pengungsi yang menyebabkan tidak bisa terakomodir secara bulat,” katanya.

Baca juga: 32 Napi di Rutan Kelas 2 B Situbondo Tidak Bisa Memilih dalam Pemilu 2024

Tapi terlepas dari itu, Fredy meminta kepada aparat keamanan dan pemerintah untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat asal mereka.

“Negara harus bisa hadir untuk bisa membawa masyarakat kembali ke tempat masing-masing sehingga hak politik mereka bisa disalurkan. Kita juga tidak lagi dipusingkan dengan banyak masalah pengungsi ini yang sejak 2018 sampai hari ini. Mereka tercerai berai kemana saja,“ katanya.

Sebelumnya, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan mengatakan, sejumlah distrik di Nduga dalam keadaan kosong ditinggal warganya yang mengungsi, di antaranya adalah Mapenduma, Paro, Yal, Dal, dan Mugi.

Izak menambahkan, keberadaan warga yang mengungsi itu telah didata sehingga saat pencoblosan mereka tetap dapat menyalurkan hak pilihnya.

Namun, pernyataan Izak tentang pencoblosan itu tidak sesuai dengan apa yang saya temukan di lapangan.

Baca juga: TGB: Dirty Vote Peringatan untuk Menjaga dan Mengawal Pemilu 2024

Hak setiap warga negara Indonesia seperti untuk hidup, hak atas tempat tinggal, dan hak untuk memilih hingga dipilih dalam pesta demokrasi dilindungi oleh undang-undang.

Dari setiap wajah pengungsi Nduga yang saya temui masih tersimpan asa dan kepedulian untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

4 Hari Kandas, 2 Kapal Kargo di Pelabuhan Pangkalbalam Diselamatkan

4 Hari Kandas, 2 Kapal Kargo di Pelabuhan Pangkalbalam Diselamatkan

Regional
Gunung Ibu Meletus 2 Kali Kamis Petang, Status Siaga

Gunung Ibu Meletus 2 Kali Kamis Petang, Status Siaga

Regional
Makan Tanpa Bayar di Warung, 2 Preman Ngaku yang Punya Lampung

Makan Tanpa Bayar di Warung, 2 Preman Ngaku yang Punya Lampung

Regional
Jasad Pria Tanpa Identitas Ditemukan Mengambang di Muara Sungai Asemdoyong Pemalang

Jasad Pria Tanpa Identitas Ditemukan Mengambang di Muara Sungai Asemdoyong Pemalang

Regional
Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Jumat 10 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Jumat 10 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Cerah Berawan

Regional
Pilkada 2024, KPU Kabupaten Semarang Waspadai Dukungan Fiktif Calon Perseorangan

Pilkada 2024, KPU Kabupaten Semarang Waspadai Dukungan Fiktif Calon Perseorangan

Regional
Kades di Blora Tewas Tersengat Listrik Pompa Air

Kades di Blora Tewas Tersengat Listrik Pompa Air

Regional
BRIN Ungkap soal Rencana Penelitian Menhir di Sumbar

BRIN Ungkap soal Rencana Penelitian Menhir di Sumbar

Regional
Pemkab Ogan Komering Ulu Tetapkan Status Siaga Bencana Banjir

Pemkab Ogan Komering Ulu Tetapkan Status Siaga Bencana Banjir

Regional
Kronologi Ibu Racuni Anak Tiri di Riau, Beri Minum Kopi Kemasan Beracun hingga Kejang-kejang

Kronologi Ibu Racuni Anak Tiri di Riau, Beri Minum Kopi Kemasan Beracun hingga Kejang-kejang

Regional
Mantan Gubernur hingga Kiai Daftar Ikut Pilkada Babel Lewat PDI-P

Mantan Gubernur hingga Kiai Daftar Ikut Pilkada Babel Lewat PDI-P

Regional
Alasan Milenial hingga Pelaku UMKM Dukung Mbak Ita Kembali Pimpin Semarang

Alasan Milenial hingga Pelaku UMKM Dukung Mbak Ita Kembali Pimpin Semarang

Regional
Rektor Unri Ternyata Belum Cabut Laporan Polisi terhadap Mahasiswa Pengkritik UKT

Rektor Unri Ternyata Belum Cabut Laporan Polisi terhadap Mahasiswa Pengkritik UKT

Regional
Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Jumat 10 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Jumat 10 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Regional
Maju Pilkada 2024, Petani di Sikka Daftar Cawabup di 2 Partai

Maju Pilkada 2024, Petani di Sikka Daftar Cawabup di 2 Partai

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com