Salin Artikel

Nestapa Pengungsi Nduga Papua, Bertahun-tahun Terusir dari Rumah, Kini Hak Suara Direnggut Paksa

Mereka mengaku hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia direnggut karena tidak dapat menyalurkan hak suara pada Pemilu 2024.

Mereka pun mempertanyakan komitmen negara, apakah mengakui mereka sebagai warga negara Indonesia atau tidak.

Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, bertemu dengan para pengungsi yang kini hidup dalam ‘keterbatasan dan stigmatisasi’ di pinggiran Wamena, di provinsi yang baru dimekarkan melalui kebijakan pemerintahan Joko Widodo.

Tangis Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga, pecah ketika mengenang trauma yang melukai hidupnya enam tahun lalu.

Dia bercerita rumahnya dan warga lain di Nirkuri hangus terbakar. Konflik bersenjata berkecamuk antara aparat keamanan TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), pimpinan Egianus Kogoya.

“Kini tinggal gereja yang berdiri, mungkin hanya rangka dan seng saja. Tidak ada orang di sana lagi, semua jadi pengungsi,“ kata Elkana yang kini mengungsi di wilayah Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, Sabtu (10/02).

Rentetan konflik bersenjata terjadi di Nduga pada tahun 2018. Saat itu, terjadi penyerangan di ibu kota Nduga, Kenyam, yang menewaskan tiga orang. Lalu diikuti penembakan dua pesawat Trigana, hingga akhirnya mencapai puncak saat belasan pekerja PT Istaka Karya yang mengerjakan proyek Trans Papua di Gunung Kabo, dibunuh pada akhir tahun itu.

Membawa ketiga anaknya yang masih kecil dan tanpa bekal, Elkana berjalan kaki menyusuri belantara hutan pegunungan yang dingin untuk menyelamatkan diri.

Hal sama juga dialami ratusan warga lain dari kampungnya. Mereka terpisah-pisah. Ada yang mengungsi ke Lanny Jaya, Timika, Yahukimo, Wamena, dan wilayah lainnya.

Hampir seminggu menyusuri hutan, Elkana tiba di Wamena dan kemudian menetap hingga sekarang di Ilekma.

Enam tahun berlalu, rasa rindu kampung halaman tidak pernah hilang. Kenangan kebersamaan antara dirinya dengan warga kampung membuat matanya kembali berlinang.

“Setiap Natal selalu kumpul bersama orang tua di kampung, bakar batu, makan bersama. Tapi sekarang sudah pecah belah antara satu sama lain, dan mengungsi cari kehidupan masing-masing,“ katanya.

Apa yang dialami oleh Elkana masih terus terjadi dan dialami warga Nduga hingga kini. Pada Februari 2023 dilaporkan puluhan warga Distrik Paro mengungsi ke Kenyam, setelah terjadi pembakaran pesawat pilatus milik Susi Air.

Kemudian pada Juli 2023, sebanyak 63 warga Distrik Kroptak, Nduga, berjalan empat hari untuk mengungsi ke Kenyam.

Konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan TPNPB-OPM pun terus memanas hingga sekarang.

Pilot asal Selandia Baru Philips Mark Mehrtens yang masih disandera kelompok Egianus seakan-akan menutup pintu terjadinya penurunan tensi keamanan di Nduga.

Elkana mengatakan, para pengungsi di wilayahnya dan juga mayoritas pengungsi Nduga, tidak bisa memilih.

Mereka kini hanya menjadi penonton dalam gegap gempita pesta demokrasi.

KPU memutuskan pelaksanan pemilu untuk Elkana dan warga lain dari 29 distrik dipusatkan di ibu kota Kabupaten Nduga, Kenyam.

Harapan para pengungsi agar disediakan tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah mereka, kata Elkana, sirna.

Padahal, untuk ke Kenyam, para pengungsi harus menggunakan pesawat kecil berbiaya jutaan rupiah. Hal yang tidak mungkin mereka lakukan karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.

“Sistem perwakilan sekarang kami tidak puas. Kami tidak tahu yang memilih atas nama kami itu memilih siapa. Tidak ada musyawarah. Jadi kami tidak tahu sama sekali suara kami ke mana,” katanya.

”Mereka anggap kami ini tidak punya hak untuk memilih. Apakah kami bukan bagian dari negara Indonesia? Kami kan bagian dari Indonesia” keluh Elkana.

Di Kabupaten Nduga pelaksanaan pemilu dilakukan dengan sistem noken.

Varian dari metode ini salah satunya dikenal dengan istilah sistem kesepakatan dan bungkus. Artinya, dukungan suara pemilih di salah satu kampung diberikan kepada calon tertentu.

Proses pengambilan keputusan ini harusnya dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan seluruh warga. Setelah diputuskan maka diutus perwakilan untuk menyampaikan kesepakatan itu.

Namun, Elkana mengatakan, kenyataannya warga pengungsi di wilayahnya tidak dilibatkan dalam musyawarah.

Saya menuju salah satu pusat pengungsian warga Nduga di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Wamena.

Barisan gunung menemani perjalanan saya untuk bertemu Yabanggal Wandikbo.

Mama tiga anak ini mengungsi pada 2018 dari Nduga ke Lanny Jaya, hingga akhirnya tiba di Sekom empat tahun lalu.

Hal pertama yang diungkapkan oleh Yabanggal saat bertemu saya adalah “Bapak-Bapak yang baik tolong kasih kami pulang ke rumah. Saya cuma ingin itu, mau pulang,“ katanya dengan bahasa Nduga.

Saya terdiam sesaat mendengar itu.“Saya minta maaf atas kondisi yang Mama alami,“ ujar saya yang kemudian diartikan ke bahasa Nduga oleh seorang warga.

Di sela-sela aktivitasnya membersihkan kebun, Yabanggal yang mengaku pertama kali membangun rumah pengungsi di Sekom merasa sedih karena dia tidak bisa memilih.

Yabanggal bercerita ingin memilih pemimpin yang bisa membawa para pengungsi pulang ke kampung halaman dengan aman.

“Kami punya hak itu sudah diabaikan dan tidak dihargai. Pemilihan di Kenyam tidak tahu pilih siapa, tidak tahu apakah peduli sama kami pengungsi ini atau tidak,“ ujarnya.

Para pengungsi Nduga di Sekom berasal dari beragam wilayah, seperti di antaranya Mapenduma, Yigi, dan Mugi.

Kini terdapat sekitar 67 kepala keluarga yang tinggal di sini.

Seorang pengungsi Broangen Wanikbo yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak.

“Kami dari ujung pukul sana yang di atas, sampai bawah, tidak memiliki hak memilih, karena TPS tidak ada di sini."

"Suara sudah bawa ke Kenyam. Dan kami pengungsi dimana pun kami tidak memilih,“ kata Broangen dalam bahasa Nduga.

Dengan tegas Kones mengatakan bahwa surat suara itu adalah tidak sah.

“Mereka pergi ke Kenyam, pengungsi tinggal. Mereka hanya cari keuntungan sendiri. Suaranya tidak sah itu,” katanya.

Menurut Kones, pemilu 2024 adalah peristiwa penting bagi para pengungsi untuk memilih pemimpin yang peduli pada nasib mereka.

Namun, harapan itu kini menjadi kekecewaan.

Kementerian Sosial, pada tahun 2019, mencatat setidaknya terdapat 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik, dari Wamena, Lanny Jaya, hingga Asmat.

Angka ini jauh dibawah data yang dihimpun Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga yang mengungsi.

Hingga kini belum ada satu data yang akurat mencatat jumlah pengungsi Nduga.

Ditarik lebih luas di Papua, menurut data KontraS, jumlah pengungsi internal korban konflik bersenjata telah mencapai lebih dari 60.000 per Desember 2022.

Mereka berasal dari Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak.

Berbicara tentang konflik bersenjata yang terjadi di kampungnya Nirkuri adalah hal yang memilukan bagi Ester.

Kenangan-kenangan indah masa kecil itu kini sirna.

Satu per satu keluarga yang dia cintai menjadi korban. Dan, kini pulang ke kampung menjadi kerinduan yang sangat mendalam baginya.

“Pengen sekali [pulang]. Mau liat nenek punya kuburan, adik mama punya kuburan, bersihkan halaman rumah saja. Sekarang tidak bisa, mau pulang saja sudah dicegah,“ ujarnya.

Kenangan terakhir akan kampung adalah saat Ester masih berusia 10 tahun.

“Keluarga kita kumpul-kumpul, jemput kami di Bandara Yigi, naik ke Nirkuri di gunung atas. Ramai kita jalan kaki sama-sama ke nenek punya rumah,“ katanya.

Berangkat dari pengalaman pahit itu, Ester begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.

Dia ingin memilih calon yang dapat memimpin para pengungsi memperjuangkan hak mereka. Apalagi, tahun ini menjadi pemilu pertama bagi Ester untuk menyalurkan hak suaranya.

Namun, semangat itu berubah jadi amarah karena hak suaranya dia sebut “direnggut paksa“.

“Kami kan warga negara ini. Kami wajib memilih. Tapi kami tidak bisa, kenapa hak-hak kami direnggut paksa satu per satu?” kata Ester yang kini berkuliah mengambil jurusan hukum untuk memperjuangkan hak pengungsi Nduga.

Senada, seorang pemuda Nduga yang merupakan salah satu kordinator pengungsi Nduga tahun 2018, Arim Tabuni mengatakan hak hidup para pengungsi telah dicabut dari kampung halaman, dan kini hak suara mereka pun dirampas.

”Orang sakit pasang infus saja bisa memilih, orang sakit jiwa bisa memilih, tapi kami warga pengungsi Nduga yang sehat kenapa tidak bisa?”

”Di negara lain mereka buat tenda darurat tempat pemilihan untuk pengungsi, tapi negara ini tidak ada,” katanya.

Setiap warga negara Indonesia dilindungi oleh undang-undang untuk dapat memilih maupun dipilih.

Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan”.

”Hak politik mereka direnggut negara, digunakan oleh negara untuk kepentingan penguasa. Kenapa negara? Karena itu terjadi secara sistemik dan terstruktur dilakukan,” katanya yang juga melakukan pemantauan pemilu pengungsi Nduga pada tahun 2019 lalu.

Anum mencontohkan, mayoritas distrik di Nduga telah ditinggalkan oleh warganya, seperti Distrik Paro yang menjadi pusat konflik bersenjata dan penahanan pilot Selandia Baru.

Namun Anum memprediksi bahwa surat suara warga Paro, dan wilayah lain akan digunakan semua. Padahal mereka yang memiliki suara itu kemungkinan besar tidak dilibatkan dalam pemilu.

“Coba cek nanti di Paro, Mugi, Yal, yang tidak ada warga di sana, pasti ada suaranya. Demokrasi kita yang rusak, tapi mereka tidak punya pilihan, tidak punya daya tawar, karena hak pilihnya diambil alih penguasa,” tuding Anum.

Berkaca pada pengalaman 2019, kata Anum, pemilu saat itu dilakukan di Habema, perbatasan Nduga dan Jayawijaya. Para pengungsi dimobilisasi ke TPS yang dibuat sementara.

“Di sana yang milih tidak sampai 10 orang, jadi yang lain nonton. Mencoblos dalam jumlah besar pegang surat suara. Sekarang saya khawatir ini bertambah buruk karena terpusat di ibu kota,” katanya.

Rentetan pelanggaran hak dasar yang dimiliki para pengungsi Nduga ini - dari hak untuk hidup, hak atas tempat tinggal hingga hak untuk memilih – menurut Anum merupakan dampak dari kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik bersenjata dan mengembalikan pengungsi ke kampung halaman mereka.

”Ini bukan soal Papua merdeka atau NKRI harga mati, tapi bagaimana setiap warga negara mendapatkan hak mendasarnya,” kata Anum.

Bertahun-tahun hidup dalam pengungsian, ujar Anum, warga Nduga juga mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.

“Mereka langsung dianggap sebagai kelompok yang melawan negara, padahal mereka adalah masyarakat sipil yang menjadi korban konflik bersenjata kedua belah pihak,” katanya.

Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Theo Hasegem, melihat hilangnya hak politik para pengungsi ini semakin menegaskan pandangan bahwa mereka diposisikan sebagai ‘warga kelas dua’ yang secara sistematis didiskriminasi.

“Mereka bisa dikatakan warga kelas dua karena mereka tidak dilibatkan. Kita semua gagal dalam proses pemilihan ini,” kata Theo.

Pemilihan untuk 29 distrik dipusatkan di Kenyam. Tiga distrik lainnya yaitu Mbua, Dal, dan Iniye pemilihan dilakukan di masing-masing daerah itu.

Ketua KPU Provinsi Papua Pegunungan, Theodorus Kossay, mengatakan relokasi TPS yang dipusatkan di Kenyam karena pertimbangan dari sisi keamanan.

“Menurut surat yang kita dapat, berdasarkan hasil pertemuan Forkopimda, itu semata-mata karena kondisi keamanan dan juga surat dari pihak keamanan keluar,“ kata Theodorus.

Terkait dengan kekecewaan para pengungsi yang diungkapkan pengungsi ke saya, Theodorus mengaku belum mengetahuinya.

“Apakah masyarakat juga ikut diangkut ke sana, itu harus dipertimbangkan. Tapi dengar-dengar yang diangkut hanya penyelenggara pemilu saja.”

“Ini juga saya rasa menimbulkan tendensi konflik di masyarakat karena mereka tidak bisa hadir untuk melakukan sepakat di forum kesepakatan untuk memberikan suara ke siapa,“ tambahnya.

Namun Theodorus menegaskan bahwa dalam sistem noken kepala suku memiliki peran penting dalam memimpin musyarawah hingga mengambil keputusan.

“Itu [suara] jadi sah karena kesepakatan ada yang memimpin namanya kepala suku, yang hadir siapa-siapa saja dan dianggap sudah mewakili yang lain. Ada kekuasaan dari sang kepala suku,“ katanya.

Sementara itu, guna mencegah potensi kecurangan yang terjadi dalam pemilihan, Theodorus mengatakan bahwa setiap TPS telah dilengkapi dengan formulir C kejadian khusus.

Kertas itu digunakan untuk mencatat setiap proses sistem noken, dari pengambilan kata sepakat, peran kepala suku, masyarakat yang terlibat hingga hasilnya.

Ketua Bawaslu Provinsi Papua Pegunungan, Fredy Wamo, melihat bahwa kekecewaan para pengungsi itu tidak lepas karena para pengambil keputusan tidak bisa menjangkau semua pengungsi Nduga yang tersebar di banyak wilayah.

“Mungkin kendalanya karena terpencar-pencarnya para pengungsi yang menyebabkan tidak bisa terakomodir secara bulat,” katanya.

Tapi terlepas dari itu, Fredy meminta kepada aparat keamanan dan pemerintah untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat asal mereka.

“Negara harus bisa hadir untuk bisa membawa masyarakat kembali ke tempat masing-masing sehingga hak politik mereka bisa disalurkan. Kita juga tidak lagi dipusingkan dengan banyak masalah pengungsi ini yang sejak 2018 sampai hari ini. Mereka tercerai berai kemana saja,“ katanya.

Sebelumnya, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan mengatakan, sejumlah distrik di Nduga dalam keadaan kosong ditinggal warganya yang mengungsi, di antaranya adalah Mapenduma, Paro, Yal, Dal, dan Mugi.

Izak menambahkan, keberadaan warga yang mengungsi itu telah didata sehingga saat pencoblosan mereka tetap dapat menyalurkan hak pilihnya.

Namun, pernyataan Izak tentang pencoblosan itu tidak sesuai dengan apa yang saya temukan di lapangan.

Hak setiap warga negara Indonesia seperti untuk hidup, hak atas tempat tinggal, dan hak untuk memilih hingga dipilih dalam pesta demokrasi dilindungi oleh undang-undang.

Dari setiap wajah pengungsi Nduga yang saya temui masih tersimpan asa dan kepedulian untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/15/060600278/nestapa-pengungsi-nduga-papua-bertahun-tahun-terusir-dari-rumah-kini-hak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke