Saya terdiam sesaat mendengar itu.“Saya minta maaf atas kondisi yang Mama alami,“ ujar saya yang kemudian diartikan ke bahasa Nduga oleh seorang warga.
Di sela-sela aktivitasnya membersihkan kebun, Yabanggal yang mengaku pertama kali membangun rumah pengungsi di Sekom merasa sedih karena dia tidak bisa memilih.
Yabanggal bercerita ingin memilih pemimpin yang bisa membawa para pengungsi pulang ke kampung halaman dengan aman.
“Kami punya hak itu sudah diabaikan dan tidak dihargai. Pemilihan di Kenyam tidak tahu pilih siapa, tidak tahu apakah peduli sama kami pengungsi ini atau tidak,“ ujarnya.
Para pengungsi Nduga di Sekom berasal dari beragam wilayah, seperti di antaranya Mapenduma, Yigi, dan Mugi.
Baca juga: Pencoblosan 4 Kabupaten di Papua Tertunda, Ada Kendala Distribusi Logistik
Kini terdapat sekitar 67 kepala keluarga yang tinggal di sini.
Seorang pengungsi Broangen Wanikbo yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak.
“Kami dari ujung pukul sana yang di atas, sampai bawah, tidak memiliki hak memilih, karena TPS tidak ada di sini."
"Suara sudah bawa ke Kenyam. Dan kami pengungsi dimana pun kami tidak memilih,“ kata Broangen dalam bahasa Nduga.
Ketua Kelasis Mugi Gereja KINGMI yang saya temui di Sekom, Pendeta Kones Kogeya menegaskan bahwa suara warga pengungsi digunakan tanpa adanya persetujuan dan musyawarah.
Dengan tegas Kones mengatakan bahwa surat suara itu adalah tidak sah.
“Mereka pergi ke Kenyam, pengungsi tinggal. Mereka hanya cari keuntungan sendiri. Suaranya tidak sah itu,” katanya.
Menurut Kones, pemilu 2024 adalah peristiwa penting bagi para pengungsi untuk memilih pemimpin yang peduli pada nasib mereka.
Namun, harapan itu kini menjadi kekecewaan.
Baca juga: Pj Gubernur Papua Barat Daya Pastikan Distribusi Logistik Pemilu Lancar
Kementerian Sosial, pada tahun 2019, mencatat setidaknya terdapat 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik, dari Wamena, Lanny Jaya, hingga Asmat.
Angka ini jauh dibawah data yang dihimpun Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga yang mengungsi.
Hingga kini belum ada satu data yang akurat mencatat jumlah pengungsi Nduga.
Ditarik lebih luas di Papua, menurut data KontraS, jumlah pengungsi internal korban konflik bersenjata telah mencapai lebih dari 60.000 per Desember 2022.
Mereka berasal dari Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak.
Berbicara tentang konflik bersenjata yang terjadi di kampungnya Nirkuri adalah hal yang memilukan bagi Ester.
Kenangan-kenangan indah masa kecil itu kini sirna.
Satu per satu keluarga yang dia cintai menjadi korban. Dan, kini pulang ke kampung menjadi kerinduan yang sangat mendalam baginya.
“Pengen sekali [pulang]. Mau liat nenek punya kuburan, adik mama punya kuburan, bersihkan halaman rumah saja. Sekarang tidak bisa, mau pulang saja sudah dicegah,“ ujarnya.
Baca juga: Jelang Pencoblosan, Polda Papua Barat Bentuk Satgas Anti-Politik Uang
Kenangan terakhir akan kampung adalah saat Ester masih berusia 10 tahun.
“Keluarga kita kumpul-kumpul, jemput kami di Bandara Yigi, naik ke Nirkuri di gunung atas. Ramai kita jalan kaki sama-sama ke nenek punya rumah,“ katanya.
Berangkat dari pengalaman pahit itu, Ester begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.
Dia ingin memilih calon yang dapat memimpin para pengungsi memperjuangkan hak mereka. Apalagi, tahun ini menjadi pemilu pertama bagi Ester untuk menyalurkan hak suaranya.
Namun, semangat itu berubah jadi amarah karena hak suaranya dia sebut “direnggut paksa“.
Baca juga: Bawaslu Ungkap 4.211 TPS Sulit Dijangkau, Belum Termasuk Papua
“Kami kan warga negara ini. Kami wajib memilih. Tapi kami tidak bisa, kenapa hak-hak kami direnggut paksa satu per satu?” kata Ester yang kini berkuliah mengambil jurusan hukum untuk memperjuangkan hak pengungsi Nduga.
Senada, seorang pemuda Nduga yang merupakan salah satu kordinator pengungsi Nduga tahun 2018, Arim Tabuni mengatakan hak hidup para pengungsi telah dicabut dari kampung halaman, dan kini hak suara mereka pun dirampas.
”Orang sakit pasang infus saja bisa memilih, orang sakit jiwa bisa memilih, tapi kami warga pengungsi Nduga yang sehat kenapa tidak bisa?”
”Di negara lain mereka buat tenda darurat tempat pemilihan untuk pengungsi, tapi negara ini tidak ada,” katanya.
Setiap warga negara Indonesia dilindungi oleh undang-undang untuk dapat memilih maupun dipilih.
Baca juga: Orang Rimba yang Ikut Pemilu Tersesat di Kertas Suara
Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan”.