Perang Semarang merupakan konflik bersenjata yang melibatkan VOC di satu pihak melawan orang-orang Tionghoa dan Jawa di pihak lain.
Perang tersebut sebagai kelanjutan dari peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Warga Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian tersebut melarikan diri ke Jawa Tengah dan mengobarkan perlawanan kepada VOC di daerah.
Saat itu, warga Tionghoa yang melakukan perlawanan tersebut juga didukung oleh penguasa Jawa dari Kartasura.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial Belanda menetapkan warga Tionghoa di kawasan pecinan melalui pertarungan wijkenstelsel yang mengharuskan orang Tionghoa tinggal di lokasi khusus.
Baca juga: Sikapi Situasi Politik, 15 Kampus di Kota Semarang Lakukan Konsolidasi hingga Rencana Aksi Besar
Peraturan itu berlaku mulai tahun 1835 hingga 1915. Tak cukup dengan wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga menerapkan peraturan passenstelsel.
Dalam peraturan tersebut, warga Tionghoa wajib membuat surat izin jika akan bepergian ke luar wilayah pecinan. Peraturan tersebut berlaku sejak 1835 hingga 1906.
Sebagai sebuah permukiman, pecinan juga dilengkapi fasilitas penduduk seperti akses jalan, pasar dan tempat ibadah.
Sebagai penganut Khonghucu, Buddha, dan Taoisme, orang-orang Tionghoa di pecinan banyak membangun kelenteng.