Uniknya, seluruh bagian Rumah Arwah itu disusun menggunakan bambu, kertas, dan lem gandum. Termasuk pernak-pernik di dalamnya, seperti baju, sandal, koper, televisi, dan masih banyak lagi.
"Waktu pengerjaannya macem-macem. Ada yang 4 hari sudah jadi, kalau rumahnya besar ya bisa sampai 15 hari," ungkap dia.
Pasalnya, satu Rumah Arwah itu dijual dengan harga yang beragam. Mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 12,5 juta berdasarkan ukuran dan kesulitan.
Dalam satu minggu, Ong menyebut, dapat menyelesaikan 3 hingga 7 rumah-rumahan, sesuai pesanan dari pelanggan.
"Pelanggan hampir dari seluruh Jawa Tengah pasti tau, dan pesannya ke sini. Kemarin baru saja kami kirim ke Yogyakarta," tutur Ong.
Di samping itu, Ong mengatakan, usaha Rumah Arwah turun temurun itu pernah sempat berhenti pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Dirinya menyebut, masa-masa Orde Baru disebut masa paling suram bagi masyarakat Tionghoa. Lantaran, semua hal yang berbau Tionghoa, seperti klenteng, sekolah, dan usaha perekonomian warga disita habis-habisan oleh Soeharto.
Baca juga: Kisah Serma Jong A Piaw, Warga Keturunan Tionghoa yang Jadi Buruan Tentara Belanda
"Tapi setelah masuk ke zaman Gus Dur, akhirnya bangkit lagi. Gus Dur sudah dianggap sebagai bapak angkatnya masyarakat Tionghoa, karena menjadi penyelamat," ucap lelaki kelahiran 1949 itu.
Kendati demikian, Ong berharap, nantinya kebudayaan Rumah Arwah ini masih tetap terus lestari dan selalu dicari oleh generasi muda saat ini.
"Dalam pandangan saya, tradisi kebudayaan itu tidak bisa dihitung nilainya. Kalau bisa ya jangan sampai hilang," pungkas Ong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.