Salin Artikel

Kisah Ong Bing Hok, Lestarikan Rumah Arwah yang Hampir Punah

Selain beribadah dan sembahyang, ternyata masyarakat Tionghoa juga memiliki tradisi 'Rumah Arwah' untuk menghormati para leluhur.

Kerajinan unik tersebut bisa ditengok di Rumah Kertas Hok yang terletak di seberang Klenteng Hoo Hok Bio, tepatnya di Gang Cilik, Kawasan Pecinan Semarang.

Sejumlah orang tampak berlalu lalang memasuki Klenteng Hoo Hok Bio. Di seberangnya, terlihat satu laki-laki paruh baya duduk di kursi sambil melipat kertas. Ong Bing Hok, itulah namanya.

Ong, sapaan akrabnya, mengaku dirinya merupakan generasi keempat yang melestarikan usaha kerajinan Rumah Arwah atau Rumah Kertas ini.

Dulunya, kerajinan budaya Tionghoa ini dibawa oleh kakek buyutnya bernama Hong Bei pada tahun 1800-an.

Ong menyebut, kakek buyutnya merupakan salah satu pehijrah dari suku Hokkian yang bersauh di Kota Semarang.

"Ini turun temurun, kalau sampai saya berarti sudah generasi keempat. Sejarahnya sudah ratusan tahun. Dulu kan banyak orang hijrah dari Tiongkok ke Indonesia," ucap Ong saat ditemui Kompas.com, Jumat (26/1/2024).

Sesuai namanya, Ong mengatakan, Rumah Arwah ini biasa digunakan untuk sesembahan atau hadiah yang dikirimkan untuk kerabat yang sudah meninggal.

"Maknanya, rumah yang dikirim itu untuk arwahmya. Dikirim supaya hidup disana tidak kekurangan. Makanya kalau ngirim rumah ada syaratnya," tutur dia.

Tidak hanya sekadar rumah, ada syarat mengirim Rumah Arwah yaitu disertai pula dengai isiannya.

Di antaranya, gunung emas, gunung perak, gunung uang, gudang harta, gudang pakaian, koper, mobil-mobilan, dan masih banyak lainnya.

"Kemarin juga ada yang minta dibikinkan ada restonya. Pokoknya barang-barang yang memang melekat dengan mendiang," jelas Ong.

Bahkan, Ong menyebut, rumah-rumahan tersebut juga harus disertai surat rumah. Nantinya, surat rumah 'Rumah Arwah' akan dituliskan Ong diatas kertas.

Uniknya, seluruh bagian Rumah Arwah itu disusun menggunakan bambu, kertas, dan lem gandum. Termasuk pernak-pernik di dalamnya, seperti baju, sandal, koper, televisi, dan masih banyak lagi.

"Waktu pengerjaannya macem-macem. Ada yang 4 hari sudah jadi, kalau rumahnya besar ya bisa sampai 15 hari," ungkap dia.

Pasalnya, satu Rumah Arwah itu dijual dengan harga yang beragam. Mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 12,5 juta berdasarkan ukuran dan kesulitan.

Dalam satu minggu, Ong menyebut, dapat menyelesaikan 3 hingga 7 rumah-rumahan, sesuai pesanan dari pelanggan.

"Pelanggan hampir dari seluruh Jawa Tengah pasti tau, dan pesannya ke sini. Kemarin baru saja kami kirim ke Yogyakarta," tutur Ong.

Tak lekang oleh zaman

Di samping itu, Ong mengatakan, usaha Rumah Arwah turun temurun itu pernah sempat berhenti pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.

Dirinya menyebut, masa-masa Orde Baru disebut masa paling suram bagi masyarakat Tionghoa. Lantaran, semua hal yang berbau Tionghoa, seperti klenteng, sekolah, dan usaha perekonomian warga disita habis-habisan oleh Soeharto.

"Tapi setelah masuk ke zaman Gus Dur, akhirnya bangkit lagi. Gus Dur sudah dianggap sebagai bapak angkatnya masyarakat Tionghoa, karena menjadi penyelamat," ucap lelaki kelahiran 1949 itu.

Kendati demikian, Ong berharap, nantinya kebudayaan Rumah Arwah ini masih tetap terus lestari dan selalu dicari oleh generasi muda saat ini.

"Dalam pandangan saya, tradisi kebudayaan itu tidak bisa dihitung nilainya. Kalau bisa ya jangan sampai hilang," pungkas Ong.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/26/234300878/kisah-ong-bing-hok-lestarikan-rumah-arwah-yang-hampir-punah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke