Awalnya ia pergi ke Aceh karena mendengar “masyarakatnya baik-baik”.
“Rupanya berbeda. Kami sangat ketakutan, apa yang kami bayangkan di sini rupanya berbeda, karena itulah kami menangis,” tambah Syakhi.
Ia menambahkan, saat gerombolan mahasiswa datang untuk mengusir, "Kami kira akan mati di sini. Jika ada kehidupan yang lebih baik di sana [Bangladesh], untuk apa kami pergi. Kalau dikembalikan ke sana [Bangladesh], bunuh saja kami di sini”.
“Kami [laki-laki] tidak apa-apa diperlakukan seperti itu, tapi kami sedih ketika perempuan-perempuan kami diperlakukan dengan kejam. Tas dilempar-lempar begitu saja, tapi kami tidak bisa melakukan apapun, makanya kami menangis,” kata Syakhi.
Baca juga: Media Asing Menyoroti Pengusiran Pengungsi Rohingya di Aceh
Kelompok masyarakat sipil mengecam aksi pemindahan paksa pengungsi Rohingya di Aceh yang dilakukan gerombolan mahasiswa, di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (MBA), Banda Aceh, Rabu (27/12).
“Kita menyesalkan ketika teman-teman yang mengaku dirinya sebagai mahasiswa, melakukan intimidasi, kekerasan yang menimbulkan trauma kepada pengungsi, terutama kelompok rentan, anak dan perempuan,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito dalam keterangan kepada pers, Kamis (28/12).
Sasmito menghargai aspirasi yang disampaikan mahasiswa, akan tetapi semestinya dilakukan tanpa kekerasan, dan “harus didukung dengan fakta dan data di lapangan,” katanya.
Baca juga: Gunakan Dana Pribadi, Dokter Asal Solo ke Aceh untuk Beri Pengobatan Gratis Pada Pengungsi Rohingya
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengkelaim pihaknya memantau jalannya aksi demonstrasi ratusan mahasiswa dari gabungan beberapa kampus, Rabu kemarin.
Dari temuannya, KontraS Aceh melaporkan sejumlah mahasiswa yang terlibat aksi tersebut tidak memiliki argumentasi yang memadai untuk menolak keberadaan pengungsi Rohingya.
Alasan-alasan yang diutarakan mahasiswa umumnya merujuk dari media sosial yang memuat “ujaran kebencian dan berita bohong” terhadap Rohingya, kata Husna.
“Itu [mereka] tidak dapat menjawab dengan pasti. Dan yang disampaikan itu seperti informasi-informasi di media sosial,” kata Husna yang menaruh kekhawatiran insiden ini akan berulang dan meluas jika tidak memperoleh mitigasi dari pihak berwenang.
Baca juga: Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya, Mahfud MD Ingatkan soal Bantuan Saat Tsunami Aceh
“Termasuk juga memperhatikan, apa dampak bagi Indonesia di mata internasional, kalau terjadi serangan fisik yang menyasar pengungsi,” tambahnya.
Temuan KontraS Aceh ini menguatkan dugaan dari Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Dalam keterangan resminya UNHCR mengatakan bahwa serangan terhadap pengungsi bukanlah tindakan yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari kampanye online yang terkoordinasi.
“Untuk menyebarkan informasi yang salah, disinformasi, dan ujaran kebencian terhadap para pengungsi, serta usaha untuk menjelek-jelekkan upaya Indonesia dalam menyelamatkan nyawa yang terancam di laut,” kata UNHCR dalam keterangannya.
UNHCR juga “sangat mengkhawatirkan keselamatan para pengungsi dan menyerukan kepada pihak penegak hukum setempat untuk segera mengambil tindakan guna memastikan perlindungan bagi semua orang yang putus asa, dan pekerja kemanusiaan.”
Baca juga: UNHCR Nilai Aksi Pengusiran Pengungsi Rohingya akibat Misinformasi dan Disinformasi
Aktivis 98 ini menilai tindakan gerombolan mahasiswa di Aceh terhadap pengungsi Rohingnya seolah “tidak lagi memiliki kesadaran historis”.
Padahal, sejumlah aksi mahasiswa berdasarkan sejarah lebih menitikberatkan pada “visi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.” Hal ini termasuk dalam gerakan mahasiswa pada reformasi 1998.
“Mereka gagal paham soal sebab musabab orang Rohingya terdampar ke Aceh, lalu bertindak bagaikan robot-robot kosong etika,” kata Usman dalam akun Instagramnya.
Baca juga: 3 Pengungsi Rohingya 20 Tahun Tinggal di Blitar dan Tulungagung, Nikahi Warga Lokal