"Sampai rapat terakhir kami di DPRP [Dewan Perwakilan Rakyat Papua] kemarin [Jumat], itu tidak satupun dari pemerintah ini untuk bantuan penanganan beasiswa di tahun 2023," kata Aryoko dalam wawancara dengan wartawan Alfonso Dimara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia di Jayapura.
Selain itu, lantaran ada pemekaran wilayah, porsi dana otsus yang diterima provinsi pun menjadi lebih kecil.
Pemprov Papua akhirnya tidak menganggarkan pendanaan beasiswa Siswa Unggul Papua ini di dalam APBD mereka pada 2022 dan 2023. Pada tahun lalu, pembiayaan itu akhirnya disiasati dengan menggunakan dana cadangan.
Menurut Aryoko, saat ini butuh anggaran sebesar Rp299 miliar untuk membiayai 1.718 mahasiswa yang telah dibagi-bagi menjadi tanggungan kabupaten/kota.
Namun ketersediaan anggaran untuk menyelesaikan pembiayaan pada 2023 tidak jelas. Begitu pula untuk semester berikutnya pada 2024.
Pemerintah pun tidak bisa menerbitkan surat sponsor untuk jaminan pembiayaan studi para mahasiswa ini. Padahal, mahasiswa membutuhkan itu sebagai jaminan kepada universitas.
"Jaminan surat sponsor yang kami terbitkan hanya sampai Desember 2023, sedangkan ada yang membutuhkan itu di Januari 2024. Tetapi siapa yang menjamin pembiayaan tahun 2024? Kalau di kesepakatan itu sendiri, pemkab tidak mengatakan bahwa mereka ikut membantu," kata Aryoko.
"Kami meminta ketegasan pemerintah pusat atas kesepakatan ini," tuturnya.
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri terkait hal ini.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik enggan menjawab dan mengalihkan kepada Kepala Subdirektorat Papua Kemendagri, Budi Arwan.
Sementara Budi, mengatakan hal ini diurus oleh Direktorat Jenderal Keuangan Daerah.
Pelaksana harian Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Maurits Panjaitan, tidak merespons hingga artikel ini diterbitkan.
Sementara itu di Indonesia, orang tua dari para mahasiswa ini masih terus memperjuangkan kejelasan nasib pendidikan anak-anak mereka yang terkatung-katung.
Ayah Kenan, John Reba, mengatakan masalah berlarut dan tanpa solusi konkret ini menggambarkan bahwa "pemerintah tidak serius dengan pendidikan anak-anak Papua".
"Anak-anak kami ini direkrut karena adanya Undang-Undang Otsus yang diberlakukan di Papua, ada Otsus yang diimplementasikan di Papua. Kalau sampai ini gagal, alasan gagal karena pemerintah tidak punya uang itu kan sesuatu yang memalukan," kata John.
"Kami di Papua ini terlalu kaya, begitu. Memberikan sumber pendapatan dari negara luar biasa tapi kok pendidikan anak-anak kami seperti ini, terkatung-katung."
Pakar pendidikan dan otonomi khusus dari Universitas Papua, Agus Sumule, mengatakan pemerintah pusat semestinya bertanggung jawab menyelesaikan simpul masalah ini.
Menurutnya, ini terjadi karena pengaturan keuangan untuk program-program seperti ini tidak diantisipasi dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus. Persoalannya juga kian rumit karena ada pemekaran wilayah.
Sementara itu, pemerintah pusat pun belum mengeluarkan aturan teknis yang mengatur persoalan ini.
"Mereka harus dibantu, apalagi mereka kan tidak tahu menahu kalau akan pemekaran ini," kata Agus.
Pemerintah pusat semestinya bisa mengambil alih tanggung jawab itu dengan memotong dana otonomi khusus.
Sementara itu, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan apa yang terjadi dalam hal ini adalah imbas dari resentralisasi kewenangan dan keuangan oleh pemerintah pusat terhadap Papua.
Revisi UU Otsus tersebut, kata Cahyo, membuat porsi dana alokasi umum (DAU) yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, menjadi berkurang. DAU inilah yang dulunya menjadi sumber pembiayaan program beasiswa ini.
Baca juga: Video Viral Petugas Bandara Biak Numfor Menari Khas Papua Saat Pesawat Take Off
Belum lagi porsi DAU itu harus dibagi-bagi antara enam provinsi dan sembulan kabupaten/kota di Papua.
"Alokasi keuangan ini kan sulit bagi Pemprov Papua yang punya program 1.000 doktor [nama lain program beasiswa Otsus]," kata Cahyo.
Pemda bisa saja mengusulkan anggaran untuk program seperti ini agar diatur dalam DAU, namun proses birokrasinya akan semakin panjang dan berbelit-belit.
Sedangan dana alokasi khusus (DAK) yang jumlahnya menjadi lebih besar, diatur oleh Jakarta.
"Akhirnya banyak pembangunan di Papua akan diputuskan oleh Jakarta dan dari perspektif Jakarta," tuturnya.
Dan umumnya, sambung Cahyo, program-program itu lebih mengutamakan infrastruktur dengan nilai ekonomi yang besar, tetapi cenderung mengesampingkan pembangunan sumber daya manusia di Papua.
"Saya tidak menyangkal infrastruktur di Papua semakin baik. Banyak SD tidak ada gurunya, banyak puskesmas tidak ada obat-obatan dan jumlah perawat terbatas. Yang diperlukan pembangunan SDM," tutur Cahyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.