Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa Luar Negeri Terancam Putus Kuliah...

Kompas.com - 08/12/2023, 11:41 WIB
Pythag Kurniati

Editor

"Aku bingung. Tertekan, stres, segala macam," kata Calvin sesaat setelah menerima email tersebut.

"Kalau sampai pertengahan Januari tidak ada pembayaran, aku akan pulang. Yang namanya visa pelajar itu kan tidak bisa menetap kalau tidak ada kuliahnya, ya sudah jadi pasti akan pulang," sambungnya.

Bekerja paruh waktu

Bergeser ke Negara Bagian Michigan, AS, mahasiswa asal Papua lainnya, Kenan Reba, harus bekerja hingga tengah malam demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kenan berkuliah di jurusan Teknik Sipil, Universitas Western Michigan. Pemerintah juga menunggak pembayaran uang kuliah Kenan. Tetapi karena kampusnya memiliki kerja sama dengan Pemprov Papua, Kenan mendapat toleransi lebih untuk tetap melanjutkan kuliah.

Persoalannya, pengiriman uang saku untuk biaya hidup dari Pemprov Papua sebesar US$1.500 per bulan juga menunggak. Kenan pun mau tidak mau bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup sehari-harinya di AS.

"Ada yang menyampaikan juga bahwa kami seharusnya fokus saja belajar, tidak perlu bekerja, dari pemerintah juga menyampaikan seperti itu untuk kami fokus saja belajar."

"Cuma kalau kami hanya belajar terus kami tidak ambil part time, ini akan berat karena pemerintah selalu terlambat mengirimkan biaya hidup," jelasnya.

Baca juga: Kunker Jokowi Berdekatan dengan Kampanye Ganjar di Papua dan NTT, Istana: Sudah Direncanakan Jauh Hari

Dia bekerja di bagian kantin di lingkungan kampusnya selama 20 jam per minggu.

"Kadang cuci piring, kadang jaga salad, atau bagian jaga pastry," kata dia dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

"Rata-rata saya ambil kerja malam. Jadi kadang bisa sampai jam 12 malam. Besok saya ada kuliah siang, tapi paginya juga saya ada kerja."

Kenan harus pintar-pintar membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas dan bekerja. Dia mengaku kesulitan belajar di luar kelas. Bahkan dia hanya memiliki sedikit waktu untuk tidur.

"Sejak di AS, jam tidur saya terganggu. Kadang dua jam, kadang tiga jam. Syukur-syukur bisa lima jam, itu sudah syukur sekali," kata Kenan.

"Kalau saya tidak kerja mungkin waktu-waktu tersebut bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas dan lain-lain. Jadi bisa ada banyak waktu juga untuk saya istirahat."

Tetapi yang membuat Kenan sangat sedih adalah bagaimana teman-temannya sesama penerima beasiswa Papua sampai terancam putus kuliah.

Baca juga: Panglima TNI Temui Kapolri Bahas Pemilu hingga Papua

"Banyak yang tidak bisa kuliah dengan tenang, pikirannya lari ke mana-mana karena ditagih [pembayaran] dari pemilik tempat tinggal, terus ditagih dari universitas. Kalau tidak bayar tidak bisa kuliah di semester depan, otomatis harus pulang," jelas Kenan.

Padahal baginya, para mahasiswa ini memiliki visi untuk membangun Papua dengan ilmu yang mereka dapat.

"Karena kami dibayar, dikuliahkan dengan uang masyarakat, jadi kami benar-benar punya hati untuk pulang membangun Papua," katanya.

Program beasiswa ini dibentuk demi memperluas akses orang asli Papua terhadap perguruan tinggi. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia (SDM) di Papua juga meningkat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, hanya 8,14% penduduk berusia 15 tahun ke atas di Papua yang menamatkan pendidikan tinggi.

Terbatasnya akses pendidikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menjadi yang terendah di Indonesia.

Ironisnya, ketika ada beasiswa yang bertujuan memberdayakan orang asli Papua, pengelolaannya justru carut marut.

Baca juga: Akomodir Mahasiswa Papua, Pemprov Jatim Siapkan Lahan untuk Asrama

Program beasiswa ini sendiri menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua, karena dianggap tidak cukup inklusif.

Tata kelolanya pun dianggap "buruk" oleh sejumlah mahasiswa dan para pakar.

Itu terlihat dari adanya data penerima beasiswa yang tidak sesuai domisili, ketidaksesuaian nama kampus, mahasiswa yang kuliah di luar negeri tapi tercatat di dalam negeri-juga sebaliknya, sampai mahasiswa sudah wisuda tapi masih tercatat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah memeriksa pejabat BPSDM Papua terkait tunggakan dana beasiswa ini pada 2022. Namun ketika dihubungi terkait perkembangan terbaru kasus ini, KPK tidak merespons.

Ada pula mahasiswa yang mengeluhkan bahwa petugas BPSDM, sebagai sponsor, bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan kampus-kampus mereka.

Email yang dikirimkan oleh universitas terkait tunggakan, tak dibalas.

Pada akhirnya, universitas akan mengirim email kepada pihak ketiga atau mahasiswa yang bersangkutan, dengan menggarisbawahi bahwa upaya mereka menghubungi pemerintah sebagai sponsor "tidak berhasil".

Mengapa beasiswa mandek?

Kepala BPSDM Papua, Aryoko Rumaropen, mengatakan nasib pembiayaan beasiswa, yang dulunya ditanggung seluruhnya oleh pemerintah provinsi, kini telah dibagi-bagi menjadi tanggung jawab sembilan kabupaten dan kota Papua.

Pembagian itu didasarkan pada asal domisili masing-masing mahasiswa.

Menurutnya, hal itu telah disepakati pada rapat yang mereka gelar pada 26 Juli 2023. Perubahan itu terjadi sebagai imbas dari revisi Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan pada 2021.

UU itu menempatkan Provinsi Papua setara dengan kabupaten dan kota lainnya dalam hal penerimaan dana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com