Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, daerah Kedu yang mencakup Muntilan diduga masuk ke dalam wilayah Negara agung Kesultanan Yogyakarta karena kedekatan daerahnya dengan pusat kekuasaan Yogyakarta.
Bukti dari keterikatan Muntilan dengan Kesultanan Yogyakarta adalah adanya makam seorang bangsawan Kraton Yogyakarta di desa Gunung Pring dan dijadikan sebagai tokoh penting oleh masyarakat sekitarnya.
Hingga tahun 1812, terjadi kontrak politik antara Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Inggris yang membuat wilayah Kedu termasuk Muntilan harus diserahkan kepada pemerintah Inggris.
Setahun kemudian, pemerintah Inggris menjadikan Muntilan sebagai bagian dari Kabupaten Magelang di bawah pimpinan bupati pertama Raden Tumenggung Danuningrat I.
Muntilan kemudian dijadikan daerah administratif setingkat distrik yang dipimpin seorang wedana. Wedana ini pada awalnya yang berkedudukan di Probolinggo (desa sebelah timur Muntilan sekarang).
Pada tahun 1822 Probolinggo dijadikan sebagai kabupaten sendiri dengan bupatinya berkedudukan di Muntilan
Setelah perang Diponegoro berakhir, perubahan administrasi terjadi pada tahun 1832 dengan menghapus Kabupaten Probolinggo dan diturunkan menjadi kawedanan atau distrik.
Muntilan tetap menjadi ibukota distrik dan selama Kultuurstelsel menjadi penyedia lahan bagi penanaman tebu untuk kepentingan pabrik gula swasta yang dibuka di wilayah Yogyakarta.
Kemajuan yang pesat dari perkembangan kawasan yang baik membuat Muntilan dijadikan ibukota distrik atau kawedanan Muntilan menggantikan Probolinggo pada tanggal 1 Agustus 1901.
Candi Ngawen merupakan sebuah candi yang berdiri di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang,
Kompleks candi Buddha yang tergolong kecil ini terdiri dari 5 bangunan yang berderet sejajar dari utara ke selatan dan menghadap ke timur.
Dari lima candi, hanya Candi II yang berhasil dipugar, sedangkan keempat lainnya hanya tersisa bagian kaki atau pondasinya saja.
Keistimewaan Candi Ngawen terlihat dari adanya 4 arca singa sebagai saluran pembuangan air hujan yang diletakkan di bagian pojok kaki Candi II dan Candi IV.
Di bagian sisi candinya terdapat relief Kinara Kinari yang mengapit Kalpataru.
Kinara Kinari adalah makhluk kahyangan yang berwujud setengah manusia dan setengah burung, sedangkan Kalpataru adalah pohon kahyangan yang hidup sepanjang masa tempat menggantungkan segala asa.