Pertambangan, baik legal maupun ilegal, sama-sama memiliki dampak merusak lingkungan, menurut manajer kampanye tambang dan energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore.
Hanya saja, pertambangan yang dikelola oleh korporasi memiliki konsekuensi yang lebih besar karena pengelolaannya menggunakan ruang yang luas. Terlebih, izin-izin tambang yang diberikan kepada korporasi tidak berlandaskan perlindungan lingkungan.
“Dengan negara mempermudah pemberian izin ke korporasi menjadi pintu masuk terjadi konflik agraria di suatu wilayah, termasuk di Gorontalo,” jelas Rere, panggilan akrab Fanny Tri Jambore.
Pasalnya, izin-izin yang diberikan itu kerap berada di wilayah yang dikelola oleh masyarakat sekitar untuk berkebun, bertani atau melakukan penambangan tradisional.
Kondisi inilah, menurut Fanny, yang memicu konflik agraria terjadi lantaran perebutan sumber daya alam antara masyarakat dan korporasi.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal yang Renggut 8 Nyawa di Banyumas Ditutup, Ribuan Warga Kehilangan Pekerjaan
“Hal itu yang menjadi dampak lanjutan yang akan terjadi akibat kelalaian negara dalam pemberian izin yang dipermudah,” kata Rere.
Dia menambahkan pemberian izin yang dipermudah itu diakomodir dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), juga UU Cipta Kerja atau bisa disebut Omnibus Law.
Penelitian Walhi dan Auriga Nusantara (2022) menemukan bagaimana pemerintah Indonesia memberikan keleluasaan kepada korporasi dalam pemanfaatan kawasan hutan.
Penelitian itu mengungkap korporasi diberikan seluas 36,8 juta hektare untuk izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit, sementara rakyat hanya diberikan 3,1 juta hektare saja.
Di Gorontalo, luas kawasan hutan pun terus mengalami penurunan. Data dari BPKH-TL Wilayah XV Gorontalo menunjukan, sejak tahun 2015 hingga 2021, ada 60,526.04 hektare kawasan hutan Gorontalo yang hilang.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Banyumas Ditutup, Penambang Bongkar Sendiri Bangunannya
Data Global Forest Watch menyebut, Kabupaten Pohuwato menjadi wilayah paling banyak kehilangan tutupan pohon dibandingkan dengan lima kabupaten dan kota lainnya di Gorontalo.
Sejak 2001 hingga 2022, ada sekitar 38,6 ribu hektar tutupan pohon yang hilang di wilayah barat Gorontalo ini. Hal itu disinyalir karena keberadaan industri ekstraktif di wilayah itu, termasuk pertambangan.
Pasalnya, perusahaan pertambangan kerap kali menggunakan alat berat dengan jumlah yang banyak untuk mengeruk kulit bumi hingga bentang alam di kawasan hutan berubah drastis. Kondisi ini akan memicu dampak yang lebih besar, dan mengancam semua ekosistem yang ada di sekitar, termasuk manusia.
“Perusahaan tambang emas pasti akan merusak lingkungan sekitar, termasuk merusak hutan yang menjadi penyangga kehidupan makhluk hidup,” kata Rere.
Hal senada diungkap oleh Tarmizi Abbas dari Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES). Apalagi, PETS dan GSM berada di wilayah penyangga Cagar Alam Panua yang menjadi rumah berbagai flora dan fauna endemik, termasuk julang sulawesi (Rhyticeros cassidix).
Baca juga: Lokasi Tambang Emas Ilegal yang Renggut 8 Nyawa di Banyumas Ditutup
Menurut Tarmizi, kondisi kerusakan lingkungan akan lebih besar terjadi jika kedua perusahaan itu benar-benar akan beroperasi secara penuh. Flora dan fauna berpotensi kehilangan rumahnya, dan manusia yang ada di wilayah itu, pasti akan kehilangan sumber penghidupannya.
Tarmizi menambahkan konflik berkepanjangan antara perusahaan dan warga penambang, memperpanjang konflik agraria di Indonesia.
Data Komnas HAM mengungkap konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia yang mencapai 692 kasus dalam delapan bulan terakhir di tahun 2023, 80% di antaranya merupakan konflik lahan atau pertanahan.
Merujuk pada penelitian Ramli Utina dan rekannya dari Universitas Negeri Gorontalo, kandungan merkuri di Pohuwato sudah cukup tinggi, bahkan sudah mencemari rantai makanan spesies burung perairan di kawasan pesisir.
Penelitian dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pohuwato menyebut, padi di Pohuwato juga telah terkontaminasi merkuri dari air di sejumlah sungai di wilayah itu.
Petani pun harus menelan pil pahit akibat aktivitas pertambangan emas ilegal itu.
Penelitian yang dilakukan Nexus3 Foundation menemukan sekitar 70% rambut masyarakat penambang mengandung merkuri di atas 1 ppm, termasuk dalam kategori tinggi, karena melebihi angka aman sesuai standar World Health Organization (WHO).
“Manusia dapat terakumulasi merkuri melalui konsumsi makanan yang tercemar seperti padi,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor dan Co-founder Nexus3 Foundation.
Baca juga: Tambang Emas Tradisional di Purworejo Ditutup, Pemilik Ngaku Sulit Dapat Izin
Ia kerap melakukan penelitian di hampir seluruh wilayah pertambangan rakyat.
Yuyun menjelaskan, merkuri akan menyebabkan berbagai penyakit kronis akut. Misalnya, memicu penurunan leukosit, mati rasa, tremor (parkinson disease), serta disfungsi hati. Gairah beraktivitas, daya ingat kurang, sulit tidur, sering merasa cemas, serta emosi kadang memuncak akan dialami oleh seseorang yang sudah terdampak dari merkuri.
Tak hanya itu, kata Yuyun, merkuri juga dapat memicu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit mata, vertigo, keguguran kandungan, dan penyakit kulit. Selain itu, katanya, merkuri juga mempengaruhi ke urine seorang penambang emas yang dapat berpotensi tak mendapatkan keturunan.
Menurut Yuyun, kontaminasi merkuri di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Maka dari itu, pemerintah harus menaruh perhatian jika ingin menyelamatkan masyarakat dari ancaman kesehatan dan kerusakan lingkungan.
“Perlu sinergi bukan hanya dari pemerintah daerah dan pusat, tetapi segala sektor,” cetus Yuyun.
Baca juga: Tragedi Tambang Emas di Banyumas, 8 Penambang Terkubur di Lubang Galian Sedalam Puluhan Meter
Adapun, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) dengan tujuan pada tahun 2030 Indonesia bebas dari merkuri.
Gubernur Gorontalo pun membuat Peraturan Gubernur Nomor 71 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri, dengan tujuannya melarang keras penggunaan merkuri dalam wilayah di Gorontalo.
Kedua regulasi itu merupakan implementasi dari Konvensi Minamata tahun 2017 yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri serta senyawa merkuri antropogenik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.