Salin Artikel

Menyoal Konflik Dua Dekade Tambang Emas di Balik Kasus Pembakaran Kantor Bupati Pohuwato

Imbas dari aksi yang berujung ricuh itu, Rein langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka sehari kemudian. Ia disangka telah melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam KUHP Pidana dan terancam hukuman penjara 6 tahun. Sebanyak 35 orang telah ditetapkan sebagai tersangka imbas insiden tersebut.

Kuasa hukum menuding penanganan demonstrasi dan penetapan tersangka Rein dan 34 tersangka lainnya menyalahi aturan, namun kepolisian Gorontalo mengeklaim “sudah sesuai dengan aturan dan prosedur operasi standar kepolisian”.

Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato mengatakan nilai ganti rugi yang diberikan perusahaan terhadap masyarakat lahan yang tak layak menjadi pemicu demonstrasi yang berujung ricuh dan pembakaran.

Adapun PT PETS berkomitmen mengupayakan “solusi terbaik” untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan warga penambang, namun menuding aktivitas pertambangan emas tanpa izin di areanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat Marisa.

Koordinator peneliti di Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES), Tarmizi Abbas, menilai aksi yang terjadi pada 21 September lalu di Pohuwato sebagai “puncak dari bukti ketimpangan perebutan sumber daya alam yang sudah terjadi kurang dua dekade terakhir”.

“Kondisi ini membuktikan bahwa negara tidak mampu melakukan intervensi dalam menyelesaikan konflik agraria ini, dan justru akan memperpanjang konflik agraria di Indonesia,” ujar Tarmizi kepada Sarjan Lahay, wartawan di Gorontalo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Ahmad kemudian menjelaskan bahwa keterlibatan Rein dalam aksi itu bermula saat dirinya ingin mencari ibunya yang menjadi juru masak di wilayah Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato. Rein khawatir, ibunya akan ikut dalam demonstrasi yang diketahuinya akan dilaksanakan hari itu.

Kala itu, pada 21 September pukul 11.00 waktu setempat, ribuan warga penambang telah berkumpul dan bersiap melakukan demonstrasi di Lapangan Buntulia, Desa Buntulia Utara. Satu jam kemudian, massa menuju kantor PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) – perusahaan induk dari PETS – di Desa Hulawa.

Pada 12.30 waktu setempat, kondisi mulai memanas ketika aparat polisi tak dapat lagi mengendalikan massa aksi karena jumlah mereka kalah banyak. Situasi semakin mencekam saat massa aksi memecahkan kaca kantor, dinding mess karyawan, mobil operasional, hingga membakar bangunan dan tangki bahan bakar minyak (BBM) milik perusahaan.

Usai merusak kantor perusahaan, mereka menuju ke Kecamatan Marisa, ibu kota Kabupaten Pohuwato.

Sementara, kata Ahmad, posisi Rein saat itu masih dalam perjalanan dari Desa Teratai, Kecamatan Marisa, menuju Desa Hulawa dengan tujuan untuk mencari ibunya. Sekitar Pukul 13.00 waktu setempat, Rein berhasil bertemu ibunya dan langsung meminta ibunya untuk langsung pulang ke rumah.

Pada saat yang sama, Rein berpapasan dengan sejumlah massa aksi yang mengenalnya dan meminta dirinya berorasi. Rein dikenal sebagai intelektual, aktivis muda, dan tokoh pemuda Pohuwato. Ia juga merupakan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah Gorontalo.

Meskipun awalnya menolak permintaan itu, Rein akhirnya turun tangan ketika melihat kondisi massa aksi sudah tak kondusif. Sambil turut massa aksi ke titik aksi selanjutnya, ia berorasi untuk memberikan arahan pada massa aksi agar tertib melakukan demonstrasi.

“Rein berulang-ulang kali melarang untuk tidak berbuat anarkis, tapi massa aksi tidak menghiraukan,” jelas Ahmad.

Sayangnya, emosi massa aksi kembali tidak terkendali saat berada di Kantor Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani Marisa di Kecamatan Duhiadaa dan Marisa. Koperasi itu bekerjasama dengan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) melalui PETS yang akan mengeksploitasi gunung pani dalam pengelolaan emas.

Demikian halnya, aksi anarkis massa juga terjadi di kantor bupati Pohuwato. Akibat tidak berhasil bertemu Bupati, mereka merusak gedung milik negara itu dengan melempari batu. Interior, meja, kursi hingga foto yang terpajang di dalam ruangan kantor bupati pun dihancurkan.

Tak hanya itu, massa aksi membakar kantor bupati Pohuwato hingga ludes terbakar.

Rumah dinas bupati dan kantor DPRD Pohuwato yang tak jauh dari lokasi itu juga tak luput dari aksi massa.

Menurut Ahmad, Rein saat itu berusaha mengendalikan emosi massa aksi. Melalui pengeras suara, ia berulang-ulang kali melarang massa aksi melakukan anarkis. Namun perintah Rein tak dihiraukan oleh mereka.

“Rein justru melarang berbuat anarkis. Tapi, perintahnya sudah tidak dihiraukan. Massa aksi tetap melakukan anarkis,” kata Ahmad.

Saat kobaran api mulai melahap Kantor Bupati Pohuwato, ratusan polisi dari Polda Gorontalo dan Polres Pohuwato menembakkan gas air mata untuk memukul mundur massa yang berdemonstrasi.

Sekitar 40 orang demonstran ditangkap, termasuk Rein Suleman. Mereka lantas digiring ke Polres Pohuwato.

“Rein mengalami luka dalam dan luka luar, yaitu; lebam pada sekitar mata, bibir pecah, dada sakit dan terkadang sesak nafas, serta sakit di telinga bagian belakang,” kata Ahmad.

Tak hanya Rein, Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa juga mengalami hal serupa. Bahkan, polisi sempat melarang keluarga mereka untuk menjenguk, menurut kuasa hukum mereka, Ali Rajab.

Ali menjelaskan bahwa keluarga keduanya adalah penambang rakyat di wilayah Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Hulawa. Mereka melakukan protes kepada perusahaan yang mencoba mengambil alih wilayah yang sudah sejak dahulu menjadi sumber penghidupan keluarga mereka.

“Awalnya, lahan-lahan di wilayah penambang rakyat akan dibayar oleh perusahan sebagai kompensasi yang sudah melakukan penambangan terlebih dahulu di wilayah itu, tapi harganya tidak manusiawi, jadi warga melakukan protes,” ujar Ali.

Hingga 5 Oktober, sudah ada 35 orang tersangka yang ditetapkan oleh polisi, imbas demonstrasi yang berujung pada pembakaran kantor bupati Pohuwato, termasuk mereka bertiga.

Ahmad Hafiz, kuasa hukum Rein Suleman, mengungkapkan bahwa penangkapan massa aksi ini telah mengakibatkan ketakutan luar biasa bagi sebagian masyarakat Pohuwato. Banyak warga yang tak ikut aksi, justru ditangkap dan dianiaya oleh oknum polisi.

“Menurut kami, korban salah tangkap merupakan kasus pelanggaran HAM yang sistematis dan termasuk ke dalam kejahatan yang serius,” tegas Ahmad.

Lebih jauh, Ahmad mengatakan polisi sudah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepolisian dalam menangani massa aksi, termasuk terhadap kliennya, Rein Suleman.

Untuk itu, ia meminta kepolisian dan pemerintah untuk “mengusut tuntas” kesalahan penanganan aksi massa yang tidak sesuai SOP pengendalian massa dan UU HAM.

Sementara itu, Kapolda Gorontalo Irjen Pol Angesta Romano Yoyol mengeklaim, anggotanya sudah melakukan tugas sesuai aturan dan prosedur operasi standar kepolisian dalam pengamanan massa aksi pada 21 September lalu.

“Masyarakat yang menyampaikan aspirasi wajib kita kawal selagi mengikuti aturan hukum yang berlaku. Tapi kalau sudah merusak fasilitas umum, apalagi merusak aset-aset negara harus kita lakukan tindakan tegas dan terukur,” katanya.

Ia menegaskan akan memroses dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan anak buahnya. Meski begitu, ia mengeklaim beberapa warga yang mengalami luka-luka, diakibatkan oleh lemparan batu dari massa aksi itu sendiri.

Dalam insiden tersebut, sebanyak 10 anggota kepolisian mengalami luka-luka dan patah tulang saat melakukan pengamanan demonstrasi.

Salah satu tuntutan mereka adalah menolak keberadaan perusahaan tambang karena dinilai merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Mereka juga meminta penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR), juga menuntut ganti rugi lahan yang menjadi isu sentral dalam aksi unjuk rasa pada 21 September lalu.

Ali Rajab, kuasa hukum Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa, mengamini bahwa aksi yang dilakukan kliennya pada akhir September silam adalah “puncak dari aksi yang dilakukan sebelumnya”.

“Klien kami sudah beberapa kali melakukan aksi di Kantor Bupati dan DPRD, hingga perusahan dengan tujuan untuk meminta keadilan atas lahan-lahan penambang yang dihargai tidak wajar,” kata Ali.

Ali mengatakan kliennya melakukan protes kepada perusahaan yang mencoba mengambil alih wilayah yang sudah sejak dahulu menjadi sumber penghidupan keluarga mereka.

“Awalnya, lahan-lahan di wilayah penambang rakyat akan dibayar oleh perusahan sebagai kompensasi [bagi] yang sudah melakukan penambangan terlebih dahulu di wilayah itu, tapi harganya tidak manusiawi, jadi warga melakukan protes,” jelasnya.

Aksi unjuk rasa masyarakat penambang yang mengatasnamakan Forum Ahli Waris Penambang Pohuwato pada 21 September lalu adalah “puncak ketimpangan perebutan sumber daya alam,” yang sudah terjadi hampir dua dekade terakhir, menurut Tarmizi Abbas dari Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES).

Berkaca di konflik Pohuwato, lanjut Tarmizi, pemerintah daerah cenderung berpihak ke investasi atau korporasi.

“Menurut saya, konflik ini akan berlanjut lagi jika kedua perusahaan tambang emas yang bersengketa dengan masyarakat akan benar-benar beroperasi full (penuh),” tegasnya.

PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) dan PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) – anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) di Kecamatan Buntulia – sudah menguasai lahan tambang emas yang sudah sejak dulu dikelola oleh warga sekitar.

Adapun lokasi pertambangan itu terletak di sekitar Gunung Pani.

Secara administratif Gunung Pani termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Taluditi, Buntulia dan Paguat. Akan tetapi, sebagian wilayah Gunung Pani berada di kawasan Cagar Alam Panua, yang merupakan area perlindungan burung maleo, dan termmasuk dalam kawasan hutan.

Sekitar 30 tahun kemudian, pada 1980-an, KUD Dharma Tani marisa dibentuk untuk melegitimasi akvitias pertambangan di wilayah itu agar masyarakat tak dituduh mencuri emas di tanah leluhurnya.

Pada tahun 2009, KUD ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 100 hektar. Mereka pun bekerjasama dengan perusahaan tambang asal Australia, One Asia Resources dalam pengelolaan emas.

Pada tahun 2009, KUD ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 100 hektar. Mereka pun bekerjasama dengan perusahaan tambang asal Australia, One Asia Resources dalam pengelolaan emas.

Namun, pada akhir 2013, KUD secara sepihak memutuskan kerjasama dengan One Asia Resources, salah satu alasannya perusahaan itu tidak bisa memenuhi permintaan pinjaman dan sebesar Rp10 miliar ke koperasi.

Pada awal 2014, KUD kemudian menjalin kerjasama dengan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) melalui anak perusahaannya, PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM).

GSM memegang konsesi Kontrak Karya (KK) seluas 7.932,1 hektar yang berdekatan dengan lahan tambang KUD.

GSM dan KUD Dharma Tani kemudian membuat perusahaan patungan bernama PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), dengan KUD Dharma Tani Marisa tercatat sebagai pemilik saham mayoritas sebesar 51%.

Demonstrasi beberapa kali terjadi di masa ini.

Pada tahun 2021, PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) menjual seluruh saham GSM ke PT Andalan Bersama Investama (ABI) karena masalah keuangan yang dihadapi.

Saham PT ABI dan PT Pani Bersama Jaya (PBJ) kemudian diakusisi oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDK). Dengan begitu, MDKA menjadi pemilik saham mayoritas GSM dan PETS yang mengelola emas di gunung pani dengan nama proyek Pani Gold Project (PGP).

Adapun pemilik saham terbesar MDKA saat ini adalah PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan kepemilikan saham 18,569%. Sementara taipan pertambangan Garibaldi 'Boy' Thohir – yang juga kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir – memiliki saham sebesar 7,358 persen di MDKA. Boy Thohir juga tercatat menjabat sebagai komisaris utama perusahaan PETS.

Di masa transisi peralihan saham GSM dan PETS ke MKDA ini, demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat penambang terus bergulir, apalagi dengan adanya upaya penertiban Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang coba dilakukan aparat kepolisian.

Masyarakat penambang menuntut pemerintah menetapkan Wilayah Pertambang Rakyat (WPR).

Alhasil, pada April 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menetapkan 21 dititik WPR di Gorontalo, termasuk di wilayah Kecamatan Buntulia, berdampingan dengan lahan konsesi GSM dan PETS.

Namun masalah tak berakhir sampai di situ. Lokasi penambangan warga tak semuanya berada di dalam wilayah pertambangan rakyat yang sudah ditetapkan pemerintah. Mereka juga berada di wilayah perusahaan GSM dan PETS yang sudah mendapatkan izin operasi produksi sejak 2017 dan 2020 yang berlaku hingga 2049.

Tumpang tindih inilah yang membuat konflik antar perusahaan dan warga penambang semakin memanas. Apalagi, sejak awal tahun 2023, perusahaan mulai mengeksplorasi gunung Pani.

Warga penambang lokal mulai merasa terancam akan kehilangan mata pencahariannya. Secara perlahan, perusahaan mulai membatasi aktivitas mereka mengais rejeki di wilayah itu.

Konflik itu sedikit menemukan titik temu ketika GSM dan PETS, melalui perusahaan induknya MDKA, memberikan kompensasi, disebut “tali asih” oleh perusahaan, kepada warga penambang agar tidak melakukan aktivitas di wilayah perusahaan.

Pada 2022, puluhan penambang lokal sudah menerima kompensasi dari perusahaan senilai Rp5 juta per proposal. Satu proposal dihitung sama dengan satu lokasi lahan tambang yang dikelola warga. Namun, sebagian penambang lokal kembali protes atas nilai kompensasi yang diberikan.

Daud Ismail, salah satu penambang lokal mengatakan, nilai ganti rugi yang dijanjikan perusahaan berkisar Rp2,5 juta hingga Rp5 juta untuk satu titik lokasi. Menurutnya, kompensasi sebesar itu hanya bisa membiayai hidupnya selama satu bulan saja.

Padahal, kata Daud, perusahaan akan mengelola wilayah pertambangan itu sekitar 25 tahun ke depan.

“Harga itu tidak cukup sekali bagi kami untuk bertahan hidup beberapa bulan ke depan,” tutur Daud.

Dia menambahkan, dirinya bisa mendapatkan lebih dari Rp5 juta per bulan ketika menambang emas secara tradisional.

Di penghujung 2022, beberapa kali warga penambang kembali melakukan demonstrasi menolak program tali asih, yang disebut mereka sebagai “ganti rugi lahan”. Mereka berkali-kali mendatangi Kantor Bupati dan DPRD, meminta pembayaran ganti rugi lahan itu bisa dimediasi.

Pemda Pohuwato akhirnya membuat satuan tugas (satgas) pada awal 2023, untuk memediasi pelaksanaan program itu. Pada Februari 2023, satgas mulai melakukan pendataan dan mendokumentasikan lahan-lahan penambang lokal yang akan dimasukan dalam program itu.

Hingga Agustus silam, sebanyak 2.135 berkas proposal sudah diverifikasi. Tiga di antara proposal itu adalah milik Daud Ismail.

Daud mematok nilai ganti rugi untuk satu berkas proposal sebesar Rp50 juta. Artinya, ada sekitar Rp150 juta yang semestinya diterima Daud. Bagi Daud, angka itu layak dia terima, jika dibandingkan pendapatan perusahaan dari pengelolaan emas di Gunung Pani.

Oleh karena itulah, Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa kembali melakukan demonstrasi pada 21 September silam, kata kuasa hukum mereka, Ali Rajab.

“Warga penambang menolak saat perusahaan menghargai lahan itu hanya Rp2,5 juta rupiah per satu titik lokasi. Penolakan harga ganti rugi itu yang menjadi sumber masalah hingga ada aksi pada 21 September kemarin,” jelas Ali.

Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato, Limonu Hippy, mengatakan nilai ganti rugi terhadap masyarakat lahan yang tak layak menjadi pemicu demonstrasi yang berujung ricuh dan pembakaran kantor bupati.

“Perusahaan berjanji akan memberikan bantuan dari program tali asih itu dengan jumlah yang layak. Tetapi, realisasinya itu sangat tidak layak, yaitu hanya minimal Rp2,5 juta dalam satu berkas proposal,” kata Limonu Hippy.

Sementara itu, perusahaan mengeklaim bahwa unjuk rasa berujung anarkis itu bukan dipicu oleh ganti rugi lahan.

Dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Presiden Direktur PT PETS dan PT GSM, Boyke Poerbaya Abidin, mengeklaim demonstrasi dan pengrusakan yang terjadi di Proyek Emas Pani, atau Pani Gold Project (PGP) dilakukan Forum Persatuan Ahli Waris Penambang Pohuwato “agar dapat terus melakukan kegiatan yang tidak saja berbahaya bagi mereka sendiri, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan.”

“Kami berkomitmen untuk terus berupaya menjaga situasi yang kondusif dan aman bagi seluruh karyawan PGP dan masyarakat Marisa dan bekerjasama dengan para pihak berwenang dan mengupayakan solusi terbaik dalam menyelesaikan isu yang terjadi dengan tetap mematuhi prosedur hukum yang berlaku," tambah Boyke.

Dia kemudian menjelaskan bahwa sejak Desember 2022, Manajemen PGP telah melakukan musyawarah dengan kelompok PETI difasilitasi oleh satgas yang terdiri dari Forkopimda Pohuwato, Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), Aliansi Penambang, KUD Dharma Tani serta perwakilan PGP untuk menghimbau kelompok PETI agar meninggalkan kegiatan penambangan dimana PGP beroperasi.

“Sampai hari ini, PGP telah memberikan Tali Asih dan pilihan program alih profesi yang telah diterima oleh lebih dari 2.200 penambang,” tulis Boyke dalam keterangan tertulisnya.

Dari peristiwa 21 September lalu, negara mengalami kerugian sebesar Rp 50 miliar rupiah. Bupati Pohuwato Saipul Mbuinga mengaku telah melakukan berbagai upaya maksimal untuk memediasi program tali asih itu. Ia pun mengaku terus melakukan negosiasi dengan perusahaan agar program itu tidak merugikan warga penambang.

Namun, karena terjadi kerusuhan pada 21 September lalu, proses percepatan pembayaran ganti rugi lahan tambang diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Saipul berharap, warga penambang agar lebih bersabar menunggu proses realisasi program tali asih itu.

“Saya mohon masyarakat bersabar sambil menunggu proses dari Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk mempercepat pembayaran ganti rugi lahan,” kata Saipul.

Hanya saja, pertambangan yang dikelola oleh korporasi memiliki konsekuensi yang lebih besar karena pengelolaannya menggunakan ruang yang luas. Terlebih, izin-izin tambang yang diberikan kepada korporasi tidak berlandaskan perlindungan lingkungan.

“Dengan negara mempermudah pemberian izin ke korporasi menjadi pintu masuk terjadi konflik agraria di suatu wilayah, termasuk di Gorontalo,” jelas Rere, panggilan akrab Fanny Tri Jambore.

Pasalnya, izin-izin yang diberikan itu kerap berada di wilayah yang dikelola oleh masyarakat sekitar untuk berkebun, bertani atau melakukan penambangan tradisional.

Kondisi inilah, menurut Fanny, yang memicu konflik agraria terjadi lantaran perebutan sumber daya alam antara masyarakat dan korporasi.

“Hal itu yang menjadi dampak lanjutan yang akan terjadi akibat kelalaian negara dalam pemberian izin yang dipermudah,” kata Rere.

Dia menambahkan pemberian izin yang dipermudah itu diakomodir dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), juga UU Cipta Kerja atau bisa disebut Omnibus Law.

Penelitian Walhi dan Auriga Nusantara (2022) menemukan bagaimana pemerintah Indonesia memberikan keleluasaan kepada korporasi dalam pemanfaatan kawasan hutan.

Penelitian itu mengungkap korporasi diberikan seluas 36,8 juta hektare untuk izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit, sementara rakyat hanya diberikan 3,1 juta hektare saja.

Di Gorontalo, luas kawasan hutan pun terus mengalami penurunan. Data dari BPKH-TL Wilayah XV Gorontalo menunjukan, sejak tahun 2015 hingga 2021, ada 60,526.04 hektare kawasan hutan Gorontalo yang hilang.

Data Global Forest Watch menyebut, Kabupaten Pohuwato menjadi wilayah paling banyak kehilangan tutupan pohon dibandingkan dengan lima kabupaten dan kota lainnya di Gorontalo.

Sejak 2001 hingga 2022, ada sekitar 38,6 ribu hektar tutupan pohon yang hilang di wilayah barat Gorontalo ini. Hal itu disinyalir karena keberadaan industri ekstraktif di wilayah itu, termasuk pertambangan.

Pasalnya, perusahaan pertambangan kerap kali menggunakan alat berat dengan jumlah yang banyak untuk mengeruk kulit bumi hingga bentang alam di kawasan hutan berubah drastis. Kondisi ini akan memicu dampak yang lebih besar, dan mengancam semua ekosistem yang ada di sekitar, termasuk manusia.

“Perusahaan tambang emas pasti akan merusak lingkungan sekitar, termasuk merusak hutan yang menjadi penyangga kehidupan makhluk hidup,” kata Rere.

Hal senada diungkap oleh Tarmizi Abbas dari Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES). Apalagi, PETS dan GSM berada di wilayah penyangga Cagar Alam Panua yang menjadi rumah berbagai flora dan fauna endemik, termasuk julang sulawesi (Rhyticeros cassidix).

Menurut Tarmizi, kondisi kerusakan lingkungan akan lebih besar terjadi jika kedua perusahaan itu benar-benar akan beroperasi secara penuh. Flora dan fauna berpotensi kehilangan rumahnya, dan manusia yang ada di wilayah itu, pasti akan kehilangan sumber penghidupannya.

Tarmizi menambahkan konflik berkepanjangan antara perusahaan dan warga penambang, memperpanjang konflik agraria di Indonesia.

Data Komnas HAM mengungkap konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia yang mencapai 692 kasus dalam delapan bulan terakhir di tahun 2023, 80% di antaranya merupakan konflik lahan atau pertanahan.

Merujuk pada penelitian Ramli Utina dan rekannya dari Universitas Negeri Gorontalo, kandungan merkuri di Pohuwato sudah cukup tinggi, bahkan sudah mencemari rantai makanan spesies burung perairan di kawasan pesisir.

Penelitian dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pohuwato menyebut, padi di Pohuwato juga telah terkontaminasi merkuri dari air di sejumlah sungai di wilayah itu.

Petani pun harus menelan pil pahit akibat aktivitas pertambangan emas ilegal itu.

Penelitian yang dilakukan Nexus3 Foundation menemukan sekitar 70% rambut masyarakat penambang mengandung merkuri di atas 1 ppm, termasuk dalam kategori tinggi, karena melebihi angka aman sesuai standar World Health Organization (WHO).

“Manusia dapat terakumulasi merkuri melalui konsumsi makanan yang tercemar seperti padi,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor dan Co-founder Nexus3 Foundation.

Ia kerap melakukan penelitian di hampir seluruh wilayah pertambangan rakyat.

Yuyun menjelaskan, merkuri akan menyebabkan berbagai penyakit kronis akut. Misalnya, memicu penurunan leukosit, mati rasa, tremor (parkinson disease), serta disfungsi hati. Gairah beraktivitas, daya ingat kurang, sulit tidur, sering merasa cemas, serta emosi kadang memuncak akan dialami oleh seseorang yang sudah terdampak dari merkuri.

Tak hanya itu, kata Yuyun, merkuri juga dapat memicu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit mata, vertigo, keguguran kandungan, dan penyakit kulit. Selain itu, katanya, merkuri juga mempengaruhi ke urine seorang penambang emas yang dapat berpotensi tak mendapatkan keturunan.

Menurut Yuyun, kontaminasi merkuri di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Maka dari itu, pemerintah harus menaruh perhatian jika ingin menyelamatkan masyarakat dari ancaman kesehatan dan kerusakan lingkungan.

“Perlu sinergi bukan hanya dari pemerintah daerah dan pusat, tetapi segala sektor,” cetus Yuyun.

Adapun, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) dengan tujuan pada tahun 2030 Indonesia bebas dari merkuri.

Gubernur Gorontalo pun membuat Peraturan Gubernur Nomor 71 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri, dengan tujuannya melarang keras penggunaan merkuri dalam wilayah di Gorontalo.

Kedua regulasi itu merupakan implementasi dari Konvensi Minamata tahun 2017 yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri serta senyawa merkuri antropogenik.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/19/053500878/menyoal-konflik-dua-dekade-tambang-emas-di-balik-kasus-pembakaran-kantor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke