KOMPAS.com-Kelompok perempuan di Pulau Rempang terus menyuarakan perlawanan terhadap rencana relokasi imbas proyek Rempang Eco-City.
“Bertahan harga mati,” kata seorang perempuan yang dituakan di Kampung Pasir Merah, Pulau Rempang.
Suara perempuan muncul seiring peristiwa bentrokan antara warga dengan aparat gabungan pada 7 dan 11 September 2023, ketika puluhan pria ditangkap.
Kemunculan kaum ibu ini disebut sebagai mekanisme pertahanan sewajarnya, saat anak-anak mereka dihadapkan ketakutan pada penggusuran dan janji-janji yang tak pasti.
Baca juga: Bahlil Sebut 70 Persen Warga Pasir Panjang Pulau Rempang Setuju Digeser
BBC News Indonesia menemui sejumlah perempuan yang berpengaruh di Pulau Rempang, mendengarkan suara mereka saling menguatkan di tengah hilir mudik petugas BP Batam yang “banyak cakap merayu” agar penduduk mau direlokasi.
Rumah Zoitun di Kampung Pasir Panjang, berada di ujung selatan Pulau Rempang.
Dalam rute perjalanan menuju ke sana, keindahan pantai biru membentang sejauh mata memandang dengan pohon-pohon bakau di pesisir, direcoki ombak-ombak kecil.
Jembatan kecil di atas jalur muara, merupakan satu-satunya akses menuju salah satu permukiman nelayan kampung tua Melayu ini.
Dari atas jembatan, terlihat ikan-ikan kecil pergi berpencar karena merasakan getaran langkah kaki. Setelah itu, siapa pun bisa bercermin dengan airnya.
Pasir putih selalu berhamburan di telapak sepatu, dan deretan rumah nelayan dengan perahu kecil yang bersandar di bagian belakang bangunan.
Siang itu sepi. Banyak pintu rumah warga tertutup rapat. Terkadang sepasang mata mengawasi dari balik jendela.
Di ujung perjalanan, terdapat sebuah rumah sederhana dengan tembok bata putih, yang dikelilingi pohon kelapa. Hamparan rumput hias di pelataran membuat rumah ini tampak asri.
Baca juga: HOAKS: BP Batam Minta Warga Pulau Rempang Bayar Selisih Harga Rumah
Namun, keasrian suasana ini terinterupsi dengan tatapan tajam seorang nenek dengan kulit terbakar matahari, dari halaman rumah. Keriput di wajah, tak mampu menutupi ekspresi kegelisahannya.
“Kalau tidak ditemani orang sini, sudah kutolak kamu,” kata Zaiton mengawali pembicaraan. Warga Kampung Pasir Panjang ini meyakini usianya sudah lebih dari 80 tahun, meskipun di KTP ia lahir pada 1945.
Zaiton mengatakan beberapa hari belakangan ini kerap didatangi petugas Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang sedang mensosialisasikan agar warga mau direlokasi. Ia menyebut para petugas ini “banyak cakap merayu”.
“Untung saja kamu cepat (datang), kalau tidak Nenek rasa mau lari. Bosan tengok dia orang... Lima, enam orang, minta itu (persetujuan). ‘Kenapa Nenek tidak tanda tangan?’“ kata Zaiton menirukan petugas yang datang.