Namun, karena cinta, semangat, dan rasa tanggung jawab, Imam dan beberapa rekannya rela mengorbankan waktu, biaya, dan tenaga untuk melestarikan kebudayaan ini meski dalam keterbatasan.
"Konsep kami di komunitas ini, menghidupkan bukan mencari hidup. Artinya, walaupun kami banyak keterbatasan, ya kami tetap bergerak dengan inisiatif. Sakit, susah, dan senang, kami nikmati bersama," jelasnya.
Untuk pembiayaan kebutuhan komunitas, termasuk biaya operasional setiap latihan, Saleum memiliki kas tabungan dari hasil penampilan mengisi acara.
"Sekarang minimal dalam satu bulan ada dua kali tampil. Nah, honor itu sebagian kami simpan untuk kas. Personel setiap tampil hanya kami berikan transpor dan makan makan. Dari kas itulah kami bisa bertahan karena setiap latihan juga butuh biaya minimal Rp 50.000 untuk minum," katanya.
Saat pandemi Covid-19, komunitas Saleum sempat terpuruk karena tak bisa tampil mengisi kegiatan.
Namun, latihan rutin tetap dilakukan walaupun secara terbatas dan diam diam.
"Waktu Covid, setahun kami kosong ruang tampil. Namun, latihan tetap saya lakukan karena kalau tidak ada latihan, mungkin sekarang Saleum sudah bubar. Saat Covid, Saleum hanya memanfaatkan YouTube untuk merilis beberapa lagu etnis agar kami tetap bertahan dan berkarya ," katanya.
Kemudian, setelah pandemi, komunitas Saleum mulai bangkit.
Penampilan perdana mereka dengan tampil mengisi acara panggung arisan seni dan budaya di lima kabupaten dan kota di Aceh yang biayanya berasal dari Kemendikbud.
Kedua kaki yang mengalami cacat sejak kecil tak menghalangi Imam melestarikan budaya aceh.
Pria kelahiran Pidie itu telah menyumbang banyak penampilan seni tradisi Aceh mewakili Indonesia di berbagai negara, khususnya saat dia masih aktif di Sanggar Seni Seulaweut (S3) Kampus UIN Ar-Raniry.
"Kalau pengalaman tampil di luar negeri saat saya masih di sanggar kampus. Kami pernah tampil di Cina, Amerika, Turki, Malaysia, dan Hawai. Di Sanggar Seni Seulaweut, saya juga sebagai ketua selama dua periode. Mulai tahun 2001 sampai dengan 2006," ungkapnya.
Selain aktif mengajar dan melatih tarian tradisi, Imam juga sering diundang sebagai juri dan pemateri di berbagai acara workshop serta seminar seni dan budaya di Aceh.
Imam mengatakan, komunitas Saleum selama ini tidak mendapat ada dukungan dari pemerintah daerah.
Contohnya saja pada even Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan digelar bulan depan.
Komunitas ini belum mendapat ruang tampil pada arena even seni budaya yang rutin di gelar setiap lima tahun di Aceh itu.
"Pekan Kebudayaan Aceh kali ini kami tidak diberi ruang. Kalau PKA sebelumnya, Saleum sering mengisi penampilan untuk opening seremonial, tapi kami tetap bergerak walaupun tak ada dukungan dari pemerintah," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.