TEGAL, KOMPAS.com - Puluhan warga yang mayoritas ibu-ibu menggelar aksi damai menolak perpanjangan kontrak izin operasional tower base transceiver station (BTS) yang berdiri di wilayah permukiman padat penduduk di Kelurahan Debong Lor, Kota Tegal, Jawa Tengah, Senin (4/9/2023).
Warga yang tinggal di RT 01, RW 01, Kelurahan Debong Lor, Kecamatan Tegal Barat, merasa sangat terdampak kesehatannya imbas radiasi tower BTS yang berdiri sejak 2012 lalu.
Pengalaman 11 tahun terakhir menjadi pelajaran warga sekitar agar izin operasional tower tidak diperpanjang saat habis masa kontrak di Juli 2023 lalu.
Baca juga: Akhir Aksi Pria Panjat Tower 65 Meter di Kupang, 6 Hari Berada di Ketinggian
Namun pihak pemilik tower dan pemilik tanah disebut secara diam-diam memperpanjang kontrak. Selain itu, warga juga tidak mendapat hak kompensasi sebagaimana mestinya.
Salah satu warga Debong Lor, Kustanti (40) mengaku kesehatan diri dan keluarganya sangat terdampak dalam 11 tahun terakhir sejak tower awal berdiri. Rumah Kustanti tepat berada di bawah tower atau sekitar 5 meter dari pondasi.
"Dampak utamanya kesehatan. Pas aku hamil pas anak lahir kurang sehat. Kaki tulangnya juga lemes tidak kebanyakan anak umumnya. Pas tower ini nyala kebetulan sedang hamil. Rumahku di bawahnya (tower) persis," kata Kustanti di sela aksi damai, Senin (4/9/2023).
Kustanti menyebut tidak ada sosialisasi baik dari pihak tower dan pemilik tanah termasuk pihak kelurahan setempat dalam perpanjangan izin tower yang seharusnya sudah habis Juli 2023 lalu.
"Paling tidak kan harusnya satu RT diundang sosialisasi jauh-jauh hari. Tapi nyatanya sudah diperpanjang sama pemilik tanah, ya wis lah tapi kami minta hak kompensasi 11 tahun terakhir," kata Kustanti.
Baca juga: Sudah 4 Hari Pria di Kupang Berada di Tower Setinggi 65 Meter, Siaran Radio Terganggu
Senada disampaikan Maryam, tetangga sebelah rumah Kustanti. Rumah Maryam juga cukup dekat dengan tower BTS.
Menurut Maryam, saat awal dibangun memang ada sosialisasi pembangunan tower di tahun 2012.
Ketika itu, kata Maryam, sebenarnya sebagian besar warga menolak karena alasan kesehatan. Apalagi berada tepat di tengah pemukiman warga.
"Saat itu, yang dapat kompensasi sekitar 5 orang. Awalnya memang pada tidak setuju, tapi didatangi door to door, akhirnya ada nego harus mau sih ya," kata Maryam.
Maryam mengaku di tahun 2012 menerima kompensasi Rp 10 juta. Rp 3 juta dari pengelola tower, dan Rp 7 juta dari pemilik tanah.
Meski demikian, kata Maryam dalam 11 tahun terakhir berdirinya tower membuat diri dan keluarganya merasa tidak nyaman.
"Pertama itu dampaknya panas ya. Bising suara mesin. Belum lagi kalau listrik padam pakai genset. Kemudian alat-alat elektronik rusak. Namun tidak ada gantinya," kata Maryam.