Kemapanan dan kenyamanan, nyatanya sering membutakan kita bahwa sebenarnya kita tetap membutuhkan daya untuk menyalakan rasa memiliki nasionalisme yang dibangun dari identitas lokal dan nasional.
Energi untuk menyalakan identitas lokal dan nasional itu selama ini hanya dimaknai bisa dilakukan saat hari-hari tertentu, misal saat perayaan 17 Agustus, atau saat hari-hari besar nasional lainnya, atau dilakukan sekali saja dalam periode lama.
Baca juga: Kisah Garam Gunung Krayan yang Banyak Dicari, Sulit Dipasarkan karena Akses Jalan Sulit
Secara terpisah, pemerhati masalah kebangsaan yang juga pengajar di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar, memberi catatan penting perlunya kita membangun kesadaran bahwa Indonesia ini memang berbeda satu sama lain dan oleh karena itu penting untuk memelihara semangat kebersamaan.
Gismar menekankan, identitas nasional Indonesia yang kuat hanya akan terbangun melalui praktik kewarganegaraan yang penuh. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan warga negara tetap berada dalam kondisi aman dan terpenuhi hak mereka selain menuntut kewajiban warga.
Kewarganegaraan yang penuh merujuk pada konsep dan praktik kewarganegaraan yang tidak terbatas pada status legal saja (misal sudah resmi menjadi warga negara Indonesia dan punya KTP) tapi juga harus diwujudkan dengan menjamin kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan warga negara.
Hak-hak warga dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya juga harus diakui dijamin oleh negara. Selama ini, di atas undang-undang, hak-hak warga negara diakui namun tetap saja terjadi marjinalisasi dalam bentuk pengabaian hak-hak ekonomi dan budaya.
Baca juga: Populasi Kerbau Krayan Menurun, Ancaman Serius Terhadap Eksistensi Padi Organik Adan
Praktik kewarganegaraan yang penuh harus menjawab problem kesenjangan ekonomi dan marjinalisasi budaya. Di daerah terdepan yang biasa kita sebut perbatasan dengan negara lain, masih banyak yang perlu mendapat sentuhan.
"Warga negara harus melihat dan merasakan bahwa negara secara serius mencoba mengatasi ketidakadilan yang berakar dalam struktur ekonomi, termasuk di dalamnya eksploitasi dan marjinalisasi," paparnya.
Tak hanya negara yang dituntut adil terhadap warganya. Warga negara juga punya kewajiban dan tanggung jawab dalam memastikan bahwa dia bisa menjadi warga negara yang beradab. Gismar memberi istilah civic virtue, yaitu adab warga negara untuk melakukan kebajikan.
Menurut pemikir Habermas, sistem demokrasi yang baik tetap membutuhkan warga negara yang tahu adab bernegara.
"Demokrasi jika diserahkan pada orang buruk menjadi buruk. Karena itu, kita harus tahu, negara yang gemah ripah loh jinawi membutuhkan warga negara yang baik dan beradab pula," kata Gismar.
Identitas nasional tak hanya seperangkat ide dan gagasan semata, namun perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Kita tak harus menunggu upacara 17 Agustus untuk membuat ritual yang menekankan perlunya identitas nasional dan pentingnya berimajinasi tentang memiliki Indonesia yang satu," kata Gismar.
Merawat Indonesia dengan membangun identitas nasional harus dilakukan setiap hari tak harus menunggu momentum besar. Reproduksi identitas nasional justru diharapkan terjadi dan dilakukan melalui ritus sehari-hari, hal-hal yang rutin dan banal.
Baca juga: Semen di Binuang Kaltara Harganya Selangit, 1 Sak Rp 500.000, Produk Malaysia
Misalnya, upaya yang mencerminkan memberi kemudahan warga untuk mendapatkan KTP, memberi layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai, membangun akses jalan yang menghubungkan daerah satu dengan daerah lainnya, dan menyediakan moda transportasi yang layak dan aman.
Pemimpin dan warganya harus menyadari, persoalan membangun identitas bangsa harus dilakukan setiap saat dan setiap hari. Hal ini menguatkan asumsi bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang “telah jadi” dan terpaku dalam dimensi zaman, melainkan sesuatu yang cair dan dinamis, terus berubah.
Mengutip puisi Rivai Apin di awal kemerdekaan, kita harus memahami dan menyadari bahwa Indonesia itu tak hanya "belum sudah”, tetapi Indonesia juga adalah "dunia yang tak pernah sudah". Kita rawat Indonesia dengan penuh asa.
Baca juga: Gubernur Kaltara Minta 2024 Jalan Malinau-Krayan Fungsional agar Bisa Suplai Sembako dan BBM
Bersama semangat almarhum Bang Yusi, jangan lupa tetap kibarkan Merah Putih di perayaan Hari Kemerdekaan. Jika kita belum pernah merasakan perjuangan orang-orang perbatasan, belum saatnya kita orang-orang kota pantas mengeluh.
Sambil mendorong pihak pusat di tingkat nasional untuk tetap memperhatikan distribusi pembangunan di daerah, kita tetap punya tanggung jawab menjaga semangat memiliki negeri ini. Panjang umur Indonesia, panjang umur perjuangan baik, panjang umur untuk kita semua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.