“Drone jangan masuk pikiran, fokus pemulihan Nissi,” kata Adi. Saya tahu, Adi ini sering "cengengesan" dan penuh hitungan, namun saat situasi seperti ini dia luluh merelakan drone yang jatuh.
Masalahnya adalah, satu orang dari Kompas.com yang ikut perjalanan darat, Robertus, terpisah kendaraan dengan Fikria. Belum ada kabar dari Obet, panggilan dia.
“Robert masih tertinggal jauh, belum sampai, infonya mobil mogok dan ambles. Aku dan Nissi ikut semobil dengan Gubernur, jadi sampai duluan, dengan ditarik buldozer,” kata Fikria.
Saya belum bisa membayangkan, seperti apa mobil yang harus ditarik buldozer itu. Hari ini, setelah melihat video mereka, bagaimana mobil-mobil yang memang khusus di medan berat itu tak berdaya melewati jalan berlumpur dan harus ditarik dengan kendaraan berat.
Baca juga: Uji Nyali Jalan Tanah Penuh Tanjakan Jalur Malinau-Krayan, Medan Berat di Km 43 ke Semamu
Setelah itu, semua terdiam. Grup kembali sepi dalam suasana duka dan penuh penantian kabar berikutnya.
Lebih dari 24 jam kemudian, Obet baru mendapat sinyal, menandai berakhirnya kekhawatiran selama ini. “Izin lapor, aku di Long Nuat. Semua aman. Maaf sinyal susah, ini juga melipir dari rombongan, aku mau ngirim berita dulu,” kata Obet.
Long Nuat adalah salah satu desa di Kecamatan Krayan Timur. “Mas Fikri dan Nissi aman. Mas Fikri kakinya lecet-lecet karena sepatu boot," Obet melaporkan. Saking tak karuan kondisi jalan, lumpur pun masuk ke dalam sepatu boot.
"Habis ini kami mau melanjutkan perjalanan lagi,” Obet mengakhiri percakapan singkatnya. Meskipun singkat, sungguh kabar itu yang paling melegakan selama mereka menggelar ekspedisi.
Setelah itu, Obet “menghilang” lagi. Keesokan harinya, saya japri untuk menanyakan kabar. “Mas, kami semua sudah berkumpul di Krayan. Maaf baru balas, baru dapat sinyal, di sini sinyal pun susah,” kata Obet.
Kabar gembira itu bak hujan mengguyur di musim kemarau. Terasa adem. “Puji Tuhan, semua sehat-sehat. Mobil hampir terbalik kemarin. Jalannya hancur, Mas,” kata Obet.
Tepat di 16 Agustus 2023, rombongan Pemprov Kalimantan Utara yang dipimpin Gubernur Zainal Arifin Paliwang dan tim Kompas.com, berhasil berkumpul di Krayan. Keesokan harinya, mereka menggelar upacara bendera sesuai agenda yang direncanakan.
Tak terbayangkan bagaimana situasi haru menyelimuti. Tak seperti biasanya, hari itu kami mengucapkan selamat merayakan Hari Kemerdekaan RI di grup.
Biasanya ucapan ini terlalu klise dilontarkan untuk sesama kolega. Kami bahkan tak pernah mengucapkan sebelumnya di sebuah grup WA. Maksimal kami merayakan dengan berbagai informasi lomba-lomba perayaan 17 Agustus.
Perjuangan dan refleksi perjalanan almarhum Bang Yusi yang ingin mengibarkan Bendera Merah Putih di perbatasan, adalah gambaran cita-cita semua orang di tapal batas yang ingin tetap Menjadi Indonesia. Berapa pun harganya.
Ya, berapa pun harganya. Menjadi Indonesia, terutama di daerah terdepan, benar-benar tidaklah mudah. Kami merasakan nuansa itu, dan sebenarnya banyak warga yang harus membayarnya dengan satu-satunya yang mereka miliki dalam kasus yang berbeda-beda.
Duka di satu sisi, ada perasaan bangga menjadi Indonesia di sisi lain, bertumpuk-tumpuk tak karuan di sanubari anggota tim. Kita mau “sambat”, mau protes, tapi kepada siapa ditujukan?
Sungguh berat menjadi Indonesia, hingga harus dibayar dengan apapun yang kita miliki. Kami terngiang-ngiang persoalan ini. Tapi, kami tahu, kami sudah telanjur "mencinta dan menjadi". Dan Merah Putih pun berkibar di Krayan dengan gagahnya.
Duka dari tim pemprov tak terkatakan. Di upacara itu, Gubernur Zainal dengan tegar mengabarkan kepada warganya bahwa Malinau-Krayan kini telah terhubung lewat jalur darat, meskipun penuh perjuangan dan pengorbanan. “Masih harus ditarik kendaraan berat. Semoga 2024 jalan ini sudah fungsional,” katanya.
Baca juga: Upacara HUT Ke-78 RI di Krayan, Gubernur Kaltara Sebut Masih Banyak yang Akan Dibenahi
Mungkin orang-orang bisa berkata, Gubernur Zainal begitu tegar. Namun, Fikria Hidayat, fotografer dan videografer Kompas.com, sempat membidik bagaimana Gubernur Zainal duduk termenung sendiri usai mendengar anak buahnya berpulang ke Yang Kuasa. Foto itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
“Itu foto Pak Gubernur, saat mendengar musibah,” kata Lina, anggota tim ekspedisi lainnya.
Sering kali orang merasakan, nasionalisme baru bangkit ketika berada di dua situasi ekstrem. Situasi sulit membayangkan betapa susahnya menjadi orang Indonesia tapi kita tetap cinta, atau situasi kemenangan dan kegembiraan yang memicu rasa bangga memilki Indonesia.