Salin Artikel

Menjadi Indonesia, Merawat Identitas Nasional dari Pinggir Negeri

Namun, apa yang dialami anggota tim dalam perjalanan via darat dari Kabupaten Malinau ke Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menjelang perayaan 17 Agustus 2023, membuat saya merinding.

Hari ini, Sabtu (26/8/2023), video perjalanan mereka, telah tayang di channel Youtube Kompas.com untuk episode pertama. Ekspedisi ini digelar bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara. 

Untuk jalan sepenggal yang jika diukur lurus di Google Maps hanya 115 kilometer, jalur yang harus ditempuh selama tiga hari dua malam itu sungguh bisa menguji fisik dan psikis anggota tim ekspedisi.

Dari kisah perjalanan mereka, tergambar jelas ternyata tidak mudah untuk menjadi orang Indonesia terutama yang berada di perbatasan seperti Krayan.

Meski saya hanya bertugas menjaga “lilin” di Jakarta dari teman-teman anggota tim yang berangkat, terasa betul kesulitan yang mereka hadapi di perjalanan. Sebelumnya, saya dan anggota tim sudah melihat video yang dikirim tim survei dari Malinau ke Krayan sebelum menggelar ekspedisi sungguhan.

Medan yang berat membuat kita bisa berfikir ulang. Dalam hati, apa cari rute lain atau cari lokasi selain Krayan untuk dijelajahi?

Cari rute yang aman tapi tetap bisa menggambarkan megahnya Indonesia. Namun, saya sudah curiga, jangan-jangan adrenalin anggota tim justru terpacu melihat tantangan medan jalan.

Benar ternyata. Fikria Hidayat, fotografer dan videografer Kompas.com, justru semakin bulat ingin berangkat menjajal rute. Memangnya kamu bisa naik trail Fik? “Bisa lah, aku pernah pakai trail, justru kita harus dokumentasikan perjalanan ini,” kata Fikria.

Untuk Fikria, saya sudah menyaksikan keandalan fisiknya saat beberapa kali jalan bareng di rangkaian ekspedisi seperti Sungai Barito-Pegunungan Muller-Sungai Mahakam harian Kompas dan beberapa ekspedisi Cincin Api harian Kompas beberapa tahun silam.

Robertus Belarminus Goo, editor Regional yang membawahi Kalimantan, ternyata setali tiga uang. “Aku harus coba, Mas. Meskipun belum pernah naik trail, tapi aku biasa pakai motor kopling, harus bisa,” katanya.

Tim akhirnya berangkat dengan dibagi menjadi dua: via darat dan sungai, serta via udara menggunakan pesawat dari Tarakan ke Krayan. Ada penerbangan pesawat kecil dari Tarakan ke Krayan namun jumlahnya terbatas. 

Ahmad Dzulviqor, Gitano Prayogo, Lina Sujud, dan Yulveni Setiadi via udara, sedangkan Robertus Belarminus Goo, Fikria Hidayat, dan Nissi Elizabeth via jalan darat dan sungai. Mereka mulai berangkat tanggal 13 Agustus 2023.

Kejadian tak diinginkan  

Malam itu, 15 Agustus 2023, saya dan beberapa “penjaga lilin” di Jakarta tak bisa tidur pulas. Pesan via WhatsApp ke anggota tim via darat dan sungai belum berbalas hingga keesokan harinya. Seharian lebih tak ada kabar dari tim darat-sungai Kompas.com.

Kegelisahan itu terjadi karena ada kejadian tak terduga sebelumnya di siang hari, 15 Agustus 2023. Kabar duka menghampiri grup. 

“Selamat siang Komandan. Izin melaporkan kejadian laka sungai yang mengakibatkan 1 (satu) orang rombongan Gubernur Kaltara hilang terbawa arus Sungai Semamu pada hari Serlasa tanggal 15 Agustus 2023 sekira pukul 10.00 WITA, dengan identitas sebagai berikut : Nama: Ir. Yusi Novianto, ST, MH….”

Bak sambaran petir di siang hari. Di grup, tak banyak yang bisa berkata-kata mendengar kabar itu. Tim redaksi juga tak bisa mengabarkan situasi itu secara cepat. Baru beberapa hari kemudian, tim Kompas.com setelah pulih dari kondisi fisik dan psikis, baru merilis berita Selamat Jalan, Mas Yusi Novianto...

Setelah insiden itu, hingga sore, Fikria dan Robertus belum juga memberi kabar terkait kondisi perjalanan mereka. Di hari itu, kami hanya bisa berdoa, semoga semua rombongan senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Sore harinya, ponsel Fikria Hidayat mendapatkan sinyal. “Alhamdulillah, Fikria dapat sinyal,” teriak Lina.

“Innalillahi wa innailaihi rajiun. Kita dapat tiga musibah,” kata Fikria membuka percakapan. “Baru sampai Binuang, Krayan Tengah. Nissi drop sesak nafas. Drone jatuh di sungai, jatuhnya tepat di lokasi meninggalnya Bang Yusi,” kata Fikria.

“Terus, sekarang kondisi Nissi bagaimana?” Adi, anggota tim ekspedisi yang masih berada di Tarakan, menyahut.

“Tadi di awal-awal drop habis trekking menanjak, karena harus turun mobil. Sampai di atas, mendapat info musibah Bang Yusi, langsung sesak nafas. Ini masih dipantau terus,” Fikria menjelaskan.

“Drone jangan masuk pikiran, fokus pemulihan Nissi,” kata Adi. Saya tahu, Adi ini sering "cengengesan" dan penuh hitungan, namun saat situasi seperti ini dia luluh merelakan drone yang jatuh.  

Masalahnya adalah, satu orang dari Kompas.com yang ikut perjalanan darat, Robertus, terpisah kendaraan dengan Fikria. Belum ada kabar dari Obet, panggilan dia.

“Robert masih tertinggal jauh, belum sampai, infonya mobil mogok dan ambles. Aku dan Nissi ikut semobil dengan Gubernur, jadi sampai duluan, dengan ditarik buldozer,” kata Fikria.

Saya belum bisa membayangkan, seperti apa mobil yang harus ditarik buldozer itu. Hari ini, setelah melihat video mereka, bagaimana mobil-mobil yang memang khusus di medan berat itu tak berdaya melewati jalan berlumpur dan harus ditarik dengan kendaraan berat.

Setelah itu, semua terdiam. Grup kembali sepi dalam suasana duka dan penuh penantian kabar berikutnya.

Lebih dari 24 jam kemudian, Obet baru mendapat sinyal, menandai berakhirnya kekhawatiran selama ini. “Izin lapor, aku di Long Nuat. Semua aman. Maaf sinyal susah, ini juga melipir dari rombongan, aku mau ngirim berita dulu,” kata Obet.

Long Nuat adalah salah satu desa di Kecamatan Krayan Timur. “Mas Fikri dan Nissi aman. Mas Fikri kakinya lecet-lecet karena sepatu boot," Obet melaporkan. Saking tak karuan kondisi jalan, lumpur pun masuk ke dalam sepatu boot.

"Habis ini kami mau melanjutkan perjalanan lagi,” Obet mengakhiri percakapan singkatnya. Meskipun singkat, sungguh kabar itu yang paling melegakan selama mereka menggelar ekspedisi.

Setelah itu, Obet “menghilang” lagi. Keesokan harinya, saya japri untuk menanyakan kabar. “Mas, kami semua sudah berkumpul di Krayan. Maaf baru balas, baru dapat sinyal, di sini sinyal pun susah,” kata Obet.

Kabar gembira itu bak hujan mengguyur di musim kemarau. Terasa adem. “Puji Tuhan, semua sehat-sehat. Mobil hampir terbalik kemarin. Jalannya hancur, Mas,” kata Obet.

Denyut nasionalisme mengalir

Tepat di 16 Agustus 2023, rombongan Pemprov Kalimantan Utara yang dipimpin Gubernur Zainal Arifin Paliwang dan tim Kompas.com, berhasil berkumpul di Krayan. Keesokan harinya, mereka menggelar upacara bendera sesuai agenda yang direncanakan.

Tak terbayangkan bagaimana situasi haru menyelimuti. Tak seperti biasanya, hari itu kami mengucapkan selamat merayakan Hari Kemerdekaan RI di grup.

Biasanya ucapan ini terlalu klise dilontarkan untuk sesama kolega. Kami bahkan tak pernah mengucapkan sebelumnya di sebuah grup WA. Maksimal kami merayakan dengan berbagai informasi lomba-lomba perayaan 17 Agustus.

Perjuangan dan refleksi perjalanan almarhum Bang Yusi yang ingin mengibarkan Bendera Merah Putih di perbatasan, adalah gambaran cita-cita semua orang di tapal batas yang ingin tetap Menjadi Indonesia. Berapa pun harganya.

Ya, berapa pun harganya. Menjadi Indonesia, terutama di daerah terdepan, benar-benar tidaklah mudah. Kami merasakan nuansa itu, dan sebenarnya banyak warga yang harus membayarnya dengan satu-satunya yang mereka miliki dalam kasus yang berbeda-beda. 

Duka di satu sisi, ada perasaan bangga menjadi Indonesia di sisi lain, bertumpuk-tumpuk tak karuan di sanubari anggota tim. Kita mau “sambat”, mau protes, tapi kepada siapa ditujukan?

Sungguh berat menjadi Indonesia, hingga harus dibayar dengan apapun yang kita miliki. Kami terngiang-ngiang persoalan ini. Tapi, kami tahu, kami sudah telanjur "mencinta dan menjadi". Dan Merah Putih pun berkibar di Krayan dengan gagahnya. 

Duka dari tim pemprov tak terkatakan. Di upacara itu, Gubernur Zainal dengan tegar mengabarkan kepada warganya bahwa Malinau-Krayan kini telah terhubung lewat jalur darat, meskipun penuh perjuangan dan pengorbanan. “Masih harus ditarik kendaraan berat. Semoga 2024 jalan ini sudah fungsional,” katanya.

Mungkin orang-orang bisa berkata, Gubernur Zainal begitu tegar. Namun, Fikria Hidayat, fotografer dan videografer Kompas.com, sempat membidik bagaimana Gubernur Zainal duduk termenung sendiri usai mendengar anak buahnya berpulang ke Yang Kuasa. Foto itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

“Itu foto Pak Gubernur, saat mendengar musibah,” kata Lina, anggota tim ekspedisi lainnya.

Kita Indonesia, punya harapan

Sering kali orang merasakan, nasionalisme baru bangkit ketika berada di dua situasi ekstrem. Situasi sulit membayangkan betapa susahnya menjadi orang Indonesia tapi kita tetap cinta, atau situasi kemenangan dan kegembiraan yang memicu rasa bangga memilki Indonesia.

Kemapanan dan kenyamanan, nyatanya sering membutakan kita bahwa sebenarnya kita tetap membutuhkan daya untuk menyalakan rasa memiliki nasionalisme yang dibangun dari identitas lokal dan nasional.

Energi untuk menyalakan identitas lokal dan nasional itu selama ini hanya dimaknai bisa dilakukan saat hari-hari tertentu, misal saat perayaan 17 Agustus, atau saat hari-hari besar nasional lainnya, atau dilakukan sekali saja dalam periode lama.

Secara terpisah, pemerhati masalah kebangsaan yang juga pengajar di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar, memberi catatan penting perlunya kita membangun kesadaran bahwa Indonesia ini memang berbeda satu sama lain dan oleh karena itu penting untuk memelihara semangat kebersamaan.

Gismar menekankan, identitas nasional Indonesia yang kuat hanya akan terbangun melalui praktik kewarganegaraan yang penuh. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan warga negara tetap berada dalam kondisi aman dan terpenuhi hak mereka selain menuntut kewajiban warga. 

Kewarganegaraan yang penuh merujuk pada konsep dan praktik kewarganegaraan yang tidak terbatas pada status legal saja (misal sudah resmi menjadi warga negara Indonesia dan punya KTP) tapi juga harus diwujudkan dengan menjamin kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan warga negara.

Hak-hak warga dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya juga harus diakui dijamin oleh negara. Selama ini, di atas undang-undang, hak-hak warga negara diakui namun tetap saja terjadi marjinalisasi dalam bentuk pengabaian hak-hak ekonomi dan budaya.

Praktik kewarganegaraan yang penuh harus menjawab problem kesenjangan ekonomi dan marjinalisasi budaya. Di daerah terdepan yang biasa kita sebut perbatasan dengan negara lain, masih banyak yang perlu mendapat sentuhan. 

"Warga negara harus melihat dan merasakan bahwa negara secara serius mencoba mengatasi ketidakadilan yang berakar dalam struktur ekonomi, termasuk di dalamnya eksploitasi dan marjinalisasi," paparnya.

Tak hanya negara yang dituntut adil terhadap warganya. Warga negara juga punya kewajiban dan tanggung jawab dalam memastikan bahwa dia bisa menjadi warga negara yang beradab. Gismar memberi istilah civic virtue, yaitu adab warga negara untuk melakukan kebajikan.

Menurut pemikir Habermas, sistem demokrasi yang baik tetap membutuhkan warga negara yang tahu adab bernegara.

"Demokrasi jika diserahkan pada orang buruk menjadi buruk. Karena itu, kita harus tahu, negara yang gemah ripah loh jinawi membutuhkan warga negara yang baik dan beradab pula," kata Gismar.

Identitas nasional tak hanya seperangkat ide dan gagasan semata, namun perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Kita tak harus menunggu upacara 17 Agustus untuk membuat ritual yang menekankan perlunya identitas nasional dan pentingnya berimajinasi tentang memiliki Indonesia yang satu," kata Gismar.

Merawat Indonesia dengan membangun identitas nasional harus dilakukan setiap hari tak harus menunggu momentum besar. Reproduksi identitas nasional justru diharapkan terjadi dan dilakukan melalui ritus sehari-hari, hal-hal yang rutin dan banal.

Misalnya, upaya yang mencerminkan memberi kemudahan warga untuk mendapatkan KTP, memberi layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai, membangun akses jalan yang menghubungkan daerah satu dengan daerah lainnya, dan menyediakan moda transportasi yang layak dan aman. 

Pemimpin dan warganya harus menyadari, persoalan membangun identitas bangsa harus dilakukan setiap saat dan setiap hari. Hal ini menguatkan asumsi bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang “telah jadi” dan terpaku dalam dimensi zaman, melainkan sesuatu yang cair dan dinamis, terus berubah.

Mengutip puisi Rivai Apin di awal kemerdekaan, kita harus memahami dan menyadari bahwa Indonesia itu tak hanya "belum sudah”, tetapi Indonesia juga adalah "dunia yang tak pernah sudah". Kita rawat Indonesia dengan penuh asa. 

Bersama semangat almarhum Bang Yusi, jangan lupa tetap kibarkan Merah Putih di perayaan Hari Kemerdekaan. Jika kita belum pernah merasakan perjuangan orang-orang perbatasan, belum saatnya kita orang-orang kota pantas mengeluh.

Sambil mendorong pihak pusat di tingkat nasional untuk tetap memperhatikan distribusi pembangunan di daerah, kita tetap punya tanggung jawab menjaga semangat memiliki negeri ini. Panjang umur Indonesia, panjang umur perjuangan baik, panjang umur untuk kita semua. 

https://regional.kompas.com/read/2023/08/26/200639178/menjadi-indonesia-merawat-identitas-nasional-dari-pinggir-negeri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke