Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eto Kwuta
Penulis Lepas

Penulis Buku Tungku Haram dan Bao

Agrowisata: Gairah Baru Ekonomi

Kompas.com - 26/07/2023, 14:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM bidang pertanian, para petani terdidik memahami apa itu agrowisata. Belum diketahui bagi yang tidak mempelajari pertanian secara utuh atau para petani kampung yang terbiasa dengan pola kerja klasik dan belajar dari pengalaman.

Ketika mendengar istilah agrowisata, golongan petani kampung justru memberikan segudang pertanyaan. Apa itu agrowisata? Bagaimana dan orang melakukan apa di dalamnya? Lalu, hasilnya seperti apa nanti?

Tulisan ini akan membawa kita pada refleksi dan bagaimana Penulis melihat Keuskupan Maumere bekerja untuk agrowisata dan pusat pembelajaran hortikultura di Maumere, Kabupaten Sikka.

Pada 17 Juli 2023, Ekora NTT menurunkan berita dengan judul “KUM Gandeng Agro Mar Indonesia Bangun Pusat Pembelajaran Hortikultura”.

Berita ini menyajikan bagaimana Keuskupan Maumere (KUM) menggandeng PT AMI yang dipimpin Yance Maring, merintis kerja pertanian pada lahan seluas satu hektare milik keuskupan.

Gol dari kolaborasi itu, jelas memberikan edukasi kepada umat wilayah KUM untuk datang dan belajar di pusat pembelajaran hortikultura.

Di lain sisi, memberikan warna berbeda serentak mempromosikan bahwa wisata berbasis pertanian berpeluang mendatangkan uang.

Terlepas dari uang, pada intinya adalah memastikan manajemen ekonomi kerakyatan bisa mendarat dengan pas dan orang benar-benar mandiri secara ekonomi.

Maka, apresiasi patut diberikan kepada KUM yang menggandeng PT AMI untuk tujuan pemberdayaan tersebut.

Orientasinya, memang menyasar pada umat Katolik Keuskupan Maumere, tetapi mesti memiliki bias, bahwa selain dari umat Katolik di Sikka, banyak orang lain yang berbeda dari sisi iman, juga membutuhkan proses belajar.

Tentu, bukan wacana agama, tapi bagaimana KUM membangun keberpihakan pada ekonomi kerakyatan yang pada akhirnya mendarat untuk semua orang.

Memahami Agrowisata

Istilah agrowisata berasal dari Bahasa Inggris, yaitu agrotourism; agro berarti pertanian dan tourism artinya wisata. Jadi, agrotourism merupakan perpaduan antara pariwisata dan pertanian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agrowisata disebut wisata yang sasarannya adalah pertanian (perkebunan, kehutanan, dan lain sebagainya).

Sedangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor 204/KPTS/HK/050/4/1989 dan Nomor KM. 47/PW.DOW/MPPT/89 tentang Koordinasi Pengembangan Wisata Agro, pengertian agrowisata adalah kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata dengan tujuan memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.

Sekilas pengertian tak bertele-tele ini, akan membawa para petani kampung mengerti dan memahami bahwa agrowisata adalah gabungan pertanian dan wisata. Namun, bagaimana dengan isi dalamnya, mereka akan susah memahami dengan baik.

Ketika bicara agrowisata, hal lain yang dipahami adalah, ada pengembangan wisata yang berhubungan dengan kegiatan pertanian di desa untuk membangun kesejahteraan warganya. Jelas, pada akhirnya orang memahami agrowisata dalam konteks desa semata.

Konsep visioner telah dilakukan KUM dengan mengembangkan agrowisata dalam tata ruang kota. Satu pertanyaan, apakah bisa membangun agrowisata di dalam tata ruang kota itu?

Pada dasarnya, agrowisata identik dengan pedesaan, tetapi ruang untuk pembangunan sejatinya ada dalam konsep berpikir modern.

Jika dulu, desa dan kota memiliki jarak ruang yang jauh dan tak seimbang, maka sekarang, filsafat pembangunan maupun teologi kontekstual mendorong orang untuk belajar menganalisis sesuatu. Jadinya, kota dan desa telah benar-benar sejajar.

Hemat Penulis, tak ada lagi jarak. Intinya adalah ruang yang jauh, terbelakang, udik, menyentuh ruang modern kota secara dinamis.

Jadi, agrowisata yang dipikirkan seindah dan semewah desa, kini berpindah ke kota. Jelas sekali bahwa KUM sudah memikirkan jauh-jauh bagaimana ruang gerak pembangunan itu berpusat di kota.

Kota akan menarik yang tradisional untuk datang menjadi bagian dari modernisasi pembangunan yang menggerakkan produktivitas ekonomi.

Tujuannya ialah menghidupkan gairah ekonomi seutuhnya dan politik pasar dengan sendirinya menjadi ‘bumbu penyedap’ untuk memberikan daya tarik wisata.

Sejarah daya tarik wisata pada awal perkembangan pariwisata di Indonesia adalah untuk mengistilahkan obyek wisata, namun setelah Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2009 terbit, kata obyek wisata selanjutnya tidak lagi digunakan (Bdk. I Gusty Bagus Ray dan I Wayan, 2019:3).

Di sini, kita mesti memahami daya tarik wisata berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, bahwa daya tarik wisata mempunyai keunikan, kemudahan, dan nilai yang berwujud keanekaragaman, kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran dan kunjungan wisatawan.

Dengan begitu prinsip agrowisata sebaiknya memberi daya tarik wisata supaya memancing daya kunjung wisatawan dalam skala besar.

Gereja terlibat

Uskup Keuskupan Maumere, Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, Pr, melihat bahwa KUM memiliki tanggung jawab besar terhadap umat manusia seutuhnya.

Uskup Ewal menegaskan, agrowisata dan pusat pembelajaran hortikultura mesti menjadi tempat belajar yang terbuka untuk umum.

Dengan hadirnya kebun hortikultura, mendorong umat paroki-paroki di KUM untuk mengambil bagian, khususnya, menggerakkan orang muda mencontohi apa yang dikerjakan Yance Maring dan teman-teman petani lainnya.

Jelas, agrowisata ini menggerakkan yang jauh dari desa untuk datang ke kota. Pikiran kecilnya, manusia yang terisolir jauh di desa akan mendatangi Kota Maumere karena di sana ada pusat pelatihan hortikultura.

Ketika semakin banyak manusia datang, maka kota memberikan ruang ‘rahmat’ yang luar biasa untuk semua orang.

Bisa dikatakan, Keuskupan Maumere menjadi dasar, model, penggerak, contoh, dan pendorong keberlanjutan ekonomi. KUM memberikan banyak rahmat bagi semua orang.

Hemat Penulis, kolaborasi KUM dan PT AMI akan memacu geliat pariwisata berbasis pertanian menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi masyarakat di Flores.

Hal ini tidak sekadar membangun karena manusia yang datang dari desa adalah orang-orang yang minim angka, bahasa, simbol, dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, ada beberapa poin yang bisa menjadi daya kritik untuk kita perjuangkan bersama.

Pertama, Gereja adalah kita. Dalam konteks Kekristenan, kita adalah Gereja itu sendiri. Gereja yang tidak menutup diri, tetapi membuka diri seutuhnya menjadi ruang belajar yang layak dan merangkul pluralitas.

KUM tidak boleh hanya mengakomodasi umat Katolik, tetapi merangkul keutuhan warga Kabupaten Sikka dengan segala perbedaan yang ada.

Intinya ada pada ruang yang memberi edukasi tanpa batas; ruang belajar, sekolah alam atau sekolah hortikultura yang indah dan menyenangkan.

Kedua, agrowisata mesti berdaya kreatif, rekreatif, dan reflektif. Ketika para petani kampung turun gunung melihat ruang pembelajaran di kota, mereka tetap menjadi petani yang kreatif karena pengalaman fisik. Jadi, dampak rekreasi muncul karena ada daya kreasi yang tampak dan memiliki nilai.

Pada sisi lain, mesti ada dampak reflektif; di mana mereka berpikir bagaimana caranya supaya mereka belajar hal baru, mengadopsi ilmu pengetahuan, tata cara, etika, dan lain-lain.

Ketiga, KUM sedang memberi edukasi kepada umat manusia bahwa prinsip hidup lama mesti di-renovasi dengan hal baru. Mesti ada update supaya yang lama dibarui dengan sesuatu yang lebih modern.

Konsep ini mungkin terdengar asing di telinga mereka, tetapi menjadi manusia sekarang di era digitalisasi, maka kita mesti bekerja sama dengan teknologi.

Yang terpenting, jangan kita pada akhirnya diperbudak teknologi. Kita mesti memfilter nilai-nilai positif teknologi untuk membangun kehidupan yang lebih mapan.

Keempat, membuat model sekolah hortikultura yang ramah lingkungan sebagai bagian dari aplikasi konteks Laudato Si.

Keberpihakan Gereja dalam memperhatikan ekologi sudah saatnya memberikan karya nyata untuk dipelajari dan bisa menjadi ruang diskusi, bicara isu pendidikan, penelitian, dan sekolah tani yang membebaskan.

Pada tataran ini, ibu bumi sebagai rumah bersama mesti mendapat tempat dalam tata ruang kota. Kebisingan, kegaduhan, polusi, dan lainnya, sudah sepatutnya ditangkis dengan gaya hidup hijau.

Dengan kata lain, bertani secara modern, menghasilkan uang secara cerdas, membangun ekonomi jadi kuat, dan mendidik umat manusia adalah panggilan kita semua. Mari belajar dari Keuskupan Maumere dan PT AMI untuk memulai pertanian jadi basis wisata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com