SOLO, KOMPAS.com - Demi mencapai keselarasan hidup, setiap yang bernyawa, sejenak perlu mawas diri dan menyucikan jiwa.
Begitulah pesan moral yang ingin disampaikan pertunjukan Sudamala: Dari Epilog Calonarang yang ditampilkan di Pamedan Pura Mangkunegaran, Jumat (23/6/2023) malam.
Pementasan yang memboyong 106 seniman dari Bali ini menampilkan fragmen pertarungan antara Calonarang atau Walu Nateng Dirah dengan Mpu Bharada.
Baca juga: Bersama Titiek Soeharto, Prabowo Nonton Sudamala dan Datang ke Pasar Kangen Mangkunegaran Solo
Selama sekitar dua jam, ratusan penonton yang duduk dengan konsep panggung nyaris tanpa jarak dengan penonton itu dijamu suguhan teater klasik Bali, lengkap dengan iringan gamelan setempat.
Di antara sajian tradisional, diselipkan polesan kebaruan, seperti gebyar permainan video mapping yang inovatif dan dialog kekinian di antara susastra Kawi, untuk menghidupkan tontonan.
Kejutan untuk mengendurkan tensi penonton muncul beberapa kali di tengah pertunjukan yang menengangkan lewat banyolan pemain Bondres yang tiba-tiba menyeletuk, “Itu bestie gue”.
Kisah pertunjukan ini digerakkan dengan adegan dramatis Ratna Diah Manggali yang bersimpuh sembari menangis di hadapan sang ibunda, Walu Nateng Dirah.
Tangisan di keheningan malam tersebut tak melunakkan hati Calonarang yang kadung berang, setelah ia mengetahui pusaka andalannya dicuri Mpu Bahula.
Pencurinya tak lain sang menantu yang berasal dari kasta Brahmana dan baru saja digadang-gadang menjadi pasangan sejati putri semata wayangnya.
Rupanya, Mpu Bahula diam-diam setuju menikahi Ratna Diah Manggali hanya demi menjalankan misi sang ayah Mpu Bharada. Sang ayah sejenak ingin menguasai ajaran pusaka sakti milik Kerajaan Dirah agar Jagad Kediri turut makmur.
“Ibarat tidak ada darah, tidak ada tulang, tidak ada napas. Jagad Dirah akan hancur. Karena pusaka adalah jiwa Baginda Ratu. Begitu pula jiwa kerajaan,” kata Condong, murid kesayangan Walu Nateng Dirah.
Setelah murka dan mengusir putrinya dari Kerajaan Dirah, konflik bergerak dengan penuh ketegangan karena Walu Nateng Dirah dengan penuh amarah menggerakkan para sisya (murid)-nya untuk menebar wabah ke seluruh desa.
Alunan gamelan Bali terdengar rampak mengiringi momen dramatis kekalutan warga desa yang batuk-batuk, sesak napas, sampai meninggal dunia lantaran diserang rombongan sisya yang berubah wujud mirip iblis tersebut.
Dalam kondisi karut-marut itu, Mpu Bharada yang tinggal di Pasraman Lemah Tulis berhasil membaca ajaran pusaka bekal kesaktian Walu Nateng Dirah. Setelah itu, ia berniat mengembalikannya pada Calonarang.
Di tengah perjalanan ke Kerajaan Dirah, Mpu Bharada bersama rombongan pasukan keris diadang Walu Nateng Dirah. Keduanya pun adu kesaktian. Mpu Bharada mengawalinya dengan membakar pohon beringin di hadapan Calonarang.
Panggung utama yang semula berlatar video mapping animasi hutan kehijauan itu sekejap bersalin wajah menjadi kemerahan dengan animasi kobaran api yang tengah melumat pohon beringin.
“Kalau memang sakti, silakan dihidupkan kembali,” tantang Mpu Bharada mendapati Calonarang bergeming. “Percuma punya kesaktian kalau hanya untuk menyakiti,” sambung ayahanda Mpu Bahula itu.
Klimaks pertunjukan ini berlanjut dengan pertarungan lanjutan. Dengan kesaktian masing-masing, Calonarang berubah menjadi sosok Rangda. Sementara itu, Mpu Bharada juga berubah menjadi sosok Barong.
Atraksi perseteruan sengit dua tokoh mitologi Bali itu turut melibatkan pasukan keris yang menyerang Rangda. Serangan demi serangan tersebut semakin menyulut amarah Sang Ratu Kerajaan Dirah.
Rangda lantas mengibaskan kain penutup kepalanya kepada setiap pasukan keris. Mereka pun tumbang bergantian. Serangan tak mandek di situ. Kali itu, Rangda melafalkan mantra untuk membangkitkan pasukan keris yang luruh.
Pasukan tersebut lantas terbangun dan menusuk-nusuk dirinya dengan keris, sebagai simbol menghilangkan hawa nafsu dan angkara murka dari dalam diri, untuk membangkitkan kesadaran dan membebaskan diri dari kotoran batin.
Sutradara pertunjukan sekaligus maestro Calonarang, Jro Mangku Serongga, menjelaskan, konsep pementasannya dibuat sebagai tontonan yang kental nuansa klasik dengan garapan kekinian, tapi bisa memberikan tuntunan atau pembelajaran bagi para penonton.
“Kami ingin menginspirasi penonton untuk mawas diri, membenahi diri, dan menyucikan diri,” kata dia, saat berbincang selepas pementasan.
Pemeran Calonarang sekaligus akademisi di ISI Denpasar ini menyebutkan, adegan menancapkan keris di dada adalah simbol untuk melawan hawa nafsu diri, dorongan instrospeksi diri, dan menghilangkan niat jahat dari dalam diri.
“Dengan Sudamala, kita bisa menyucikan raga. Ketika raga sudah suci, pikiran juga suci. Ketika pikiran sudah suci, yang paling utama adalah jiwa juga suci. Dengan begitu, kita mendapatkan kesempurnaan diri,” ujar dia.
Produser Sudamala: Dari Epilog Calonarang Nicholas Saputra menyampaikan, rangkaian pertunjukkan di Pura Mangkunegaran yang turut digelar untuk publik Sabtu-Minggu (25-26/6/2023) adalah kali kedua setelah pihaknya sukses menggelar pertunjukkan sejenis di Jakarta, September 2022.
“Ini pentas kedua kami. Cerita ini aslinya dari Jawa, tepatnya Kediri,lalu dibawa ke Bali dan berkembang menjadi seni pertunjukkan. Jadi, yang kami bawa kembali ke Jawa adalah tontotan yang diolah, dipahami, dan dipertunjukkan di Bali,” kata Nico, sapaan akrabnya.
Menurut Nico, timnya menjalani persiapan intensif selama dua bulan untuk mempersiapkan pertunjukkan di Solo. Proses tambahan ini untuk menyempurnakan latihan yang sebelumnya sudah dipersiapkan selama satu tahun untuk pementasan perdana Sudamala di Jakarta.
Happy Salma yang bertindak selaku tandem produser bersama Nicholas Saputra mengaku puas dengan hasil kerja keras tim pertunjukkan Sudamala.
“Melihat penonton 2 jam enggak mengecek HP, atau enggak melihat Instragram (fokus ke pertunjukkan) itu saya ingin memberikan tropi yang luar biasa,” ujar dia.
Pertunjukan Sudamala: Dari Epilog Calonarang agaknya relevan sebagai pengingat di tengah riuhnya kehidupan modern yang cenderung sekuler.
Demi memenuhi tujuan hidup sesaat, tuntutan zaman dan segala problematikanya seolah membuat banyak orang tak sempat melihat ke dalam diri lantaran hanyut ditelan kesibukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.