KOMPAS.com - Pernyataan Kapolda Sulteng yang menyebut kasus kekerasan seksual pada anak berusia 15 tahun di Sulawesi Tengah sebagai “persetubuhan” bukan “pemerkosaan” menuai kritik dari pengamat hukum hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Sebab, pergeseran istilah itu dianggap menurunkan derajat kejahatan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyayangkan pernyataan pihak kepolisian terkait kejahatan seksual yang menimpa anak 15 tahun di Sulteng itu.
“Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar,” kata Maidina lewat keterangan resmi.
Baca juga: Saat Oknum Perwira Polisi Jadi Tersangka Pemerkosaan Anak 15 Tahun di Sulteng...
Ia menjelaskan bahwa narasi polisi tentang penggunaan istilah 'persetubuhan anak' menunjukkan jika ada iming-iming atau bujukan membuat kejahatan itu turun derajat.
Padahal, seharusnya dalam konteks ini, bujukan atau iming-iming juga masuk dalam kategori kekerasan seksual terhadap anak.
Terkait hal tersebut, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti bahwa pernyataan Kapolda Sulteng sudah tepat.
Sebab, tidak ada istilah pemerkosaan dalam UU Perlindungan Anak, yang menjadi rujukan tim penyidik.
Oleh karena itu, pihak kepolisian menggunakan pasal 81 ayat 2 dalam UU Perlindungan Anak dan pasal 65 KUHP untuk menjerat para pelaku.
”Jadi kalau melihat pasal perulangan kejahatan maka ancaman hukumannya maksimal 15 tahun ditambah 1/3, yaitu lima tahun, sehingga total 20 tahun penjara. Apalagi jika ada kerusakan fungsi reproduksi, maka ancaman hukumannya bisa ditambah.
Baca juga: Identitas 11 Tersangka Kasus Pemerkosaan Anak 15 Tahun di Sulteng, Terbaru Perwira Polri
”Kompolnas juga mendorong penggunaan pasal 2 dari UU TPKS untuk melengkapi penggunaan UU Perlindungan Anak dan KUHP agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat2nya serta ada perlindungan kepada korban,” ujar Poengky kepada BBC News Indonesia, Minggu (4/6).
Meski begitu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah mengatakan bahwa seharusnya pihak aparat tidak terlalu mempermasalahkan terminologi dan terus menjalankan penyidikan kasus itu sesuai prosedur.
Sebab menurut Ai, bagaimanapun keduanya, baik itu ”persetubuhan” atau ”pemerkosaan”, keduanya merupakan kejahatan seksual terhadap anak.
”Seolah ada obyek yang sedang disajikan: "Apakah ini ada persetujuan atau tidak?" Kembali lagi bahwa seluruh aktivitas seksual yang ada atau tidak ada persetujuan dari anak, itu adalah kekerasan seksual,” ungkap Ai.
Ia mengatakan penggunaan kata ”persetubuhan” dalam kasus ini pun dikhawatirkan dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat karena mereka menganggap korban memberi ”persetujuan”.
”Masyarakat soalnya memberi pikiran-pikiran, 'oh anaknya sih yang mau'. Ini yang harus kita cegah. jadi ada sanksi sosial yang berpotensi dalam kasus ini sehingga mari samakan persepsinya untuk sama-sama kita beri kesempatan APH juga bekerja secara profesional.”
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.