Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Jangan Lupakan Mereka yang Mengalami Musibah

Kompas.com - 31/05/2023, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini setidaknya ada tiga kelompok warga yang sedang mengalami musibah. Mereka adalah ex penghuni Kampung Bayam di Jakarta, penyintas gempa di Kampung Cugenang, Cianjur, dan warga desa pantai Pisangan di Karawang.

Warga ex penghuni Kampung Bayam saat ini masih belum bisa pindah ke Kampung Susun Bayam (KSB) yang sudah siap huni sejak diresmikan pada Oktober 2022.

Pasalnya, mereka keberatan dengan ongkos sewa rusun yang ditetapkan oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro), pengembang KSB.

Korban gusuran Kampung Bayam itu menuntut ongkos sewa rusun yang setara dengan rusun lain, yang dibangun Pemprov DKI.

Sementara Jakpro berpegang pada Peraturan Gubernur yang mengatur biaya sewa Kampung Susun Bayam di kisaran Rp 600.000- Rp 700.000 per bulan.

Selain itu juga ada masalah legalitas lahan, mengingat lahan itu bukan milik Jakpro melainkan milik Pemprov DKI (cq. Dinas Perumahan).

Wali Kota Jakarta Utara sudah ikut mengatasi masalah itu dengan menawarkan warga untuk pindah ke rumah susun lain, namun warga masih mempertimbangkannya (Tempo.co, 17/3/2023).

Entah sampai kapan titik temu bisa disepakati. Yang jelas warga ex penghuni Kampung Bayam itu masih berada di tenda-tenda darurat sampai sekarang, lokasinya tidak jauh dari rumah susun yang sudah siap huni. Ironis memang, tetapi itulah yang terjadi.

***

Gempa bumi di Cianjur pada 21 November 2022, menyebabkan ratusan orang meninggal, dan puluhan ribu rumah rusak.

Pemerintah sudah membangun dan memperbaiki rumah warga yang rusak, namun masih ada sekitar 100 keluarga di Kampung Cugenang yang menghuni tenda-tenda darurat hingga kini, enam bulan lebih sejak bencana terjadi.

Mereka tidak bisa membangun rumah karena lahan yang sebelumnya ditempati dilarang untuk dihuni sebab termasuk dalam zona merah Sesar Cugenang. Sementara itu, lahan penggantinya belum tersedia, persisnya belum ditetapkan penggantinya oleh pemerintah.

Akibatnya warga harus menetap di tenda-tenda darurat, dengan segala keterbatasannya. Mereka juga tidak dapat bertani dan melakukan usaha lain karena belum jelasnya hunian mereka yang permanen (Kompas.id, 15/5/2023).

Keputusan tentang lokasi hunian pengganti itu agaknya menjadi masalah yang pelik. Bisa jadi diperlukan campur tangan dari pemerintah provinsi dan pusat untuk menyelesaikan masalah lahan bagi warga yang terkena musibah itu.

***

Warga kampung Pisangan dan Mekarjaya, Desa Cemarajaya, di pesisir utara Karawang, saat ini juga hidup dalam penderitaan.

Kampung mereka saat ini bisa disebut dalam kondisi porak poranda, walaupun tidak dalam keadaan perang seperti yang terjadi di Ukraina.

Pasalnya, jalan satu-satunya yang menghubungkan kawasan itu dengan kampung-kampung lain ambles di sana-sini karena terkena gelombang laut.

Padahal jalan itu menjadi jalur pengangkutan hasil laut dari warga. Kini mereka harus memutari tambak atau menggunakan perahu untuk memasarkan ikan hasil tangkapan ke kampung-kampung sekitarnya.

Sudah sejak awal 2000-an, mereka menyaksikan kawasan tempat tinggal mereka mengalami limpasan air laut, abrasi dan subsidensi atau amblesan tanah. Laju abrasi mencapai dua meter per tahun (Kompas.id, 24/5/2023).

Satu demi satu rumah penduduk hanyut tergerus abrasi atau terbawa gelombang laut. Sebagian warga sudah pindah ke lokasi yang aman.

Sebagian lain terpaksa bertahan di kawasan yang rusak itu, dengan berpindah-pindah lokasi untuk menghindari gelombang laut.

Warga pun sudah melakukan upaya mengatasi abrasi pantai dengan membuat karung-karung berisi pasir, dan menahan gelombang dengan tiang-tiang bambu.

Namun hasilnya belum terlihat, karena tidak seimbangnya upaya yang dilakukan dengan besarnya tantangan yang dihadapi.

Kini mereka menunggu uluran tangan pemerintah untuk pindah ke rumah baru di lokasi yang aman.

***

Sebetulnya masalah yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain. Diperkirakan sekitar 40 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia mengalami ancaman abrasi pantai.

Daerah itu tersebar di hampir seluruh wilayah negara kita yang memiliki pantai sepanjang 80.000 kilometer, terpanjang kedua dunia setelah Kanada. Karena itu, Indonesia dinilai termasuk negara yang paling rentan terdampak perubahan iklim.

Masalah ini mencuat beberapa waktu yang lalu, ketika Presiden AS, Joe Biden sepintas menyinggung Kota Jakarta yang diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2050-an, dalam pidato sambutan internal di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli 2021.

Di berbagai daerah, masalah abrasi pantai sudah ditangani dengan baik, oleh pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah pusat.

Sebagai contoh, pembangunan tanggul laut sepanjang 879 meter dan batuan pemecah ombak sepanjang 146 meter dapat mengatasi abrasi di pantai kota Padang (Kompas.id, 5/4/2021).

Pembangunan infrastruktur pantai itu dikerjakan hanya dalam waktu tiga bulan dengan biaya Rp19 miliar, yang berasal dari anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Semestinya berbagai kota dan daerah yang terancam abrasi perlu segera melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya, termasuk menyiapkan penduduk untuk beradaptasi dengan kenaikan air muka laut yang sudah nyata dihadapi.

Untuk itu diperlukan perencanaan yang menyeluruh, lintas daerah dan lintas sektor, karena sifat ancaman kenaikan air muka laut yang seperti balon, ditekan disini menggelembung di sana.

Kemudian pelaksanaan dari strategi mengatasi abrasi pantai itu juga harus terpadu. Saat ini setidaknya ada empat kementerian/lembaga yang tupoksinya terkait dengan pantai, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan BNPB.

Apakah sudah ada kesamaan persepsi dan keterpaduan program dari setidaknya keempat instansi pusat itu dalam mengatasi ancaman kenaikan air muka laut di seantero wilayah negara?

Ini merupakan pertanyaan yang kiranya perlu dijawab dengan segera, agar tidak mengorbankan terlalu lama kehidupan masyarakat yang berada di luar kesanggupannya.

***

Warga yang mengalami musibah memerlukan solusi konkret alias dapat dilakukan dengan segera.

Secara sepintas masalahnya terletak pada peraturan yang tidak mendukung dan/atau kebijakan yang tidak memprioritaskan penyelesaian kasus-kasus itu. Tidak terlihat ada kendala fisik, dana dan kemampuan, karena skala masalah yang tidak sangat besar.

Menjadi harapan kita agar masalah-masalah itu segera diatasi. Mereka yang terkena musibah itu sudah cukup lama menunggu.

Hajatan besar Pemilu 2024 jangan sampai membuat kita lupa akan penderitaan sebagian warga itu. Derita mereka adalah derita kita juga. Jangan biarkan mereka lebih lama lagi menderita. Segeralah diatasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com