Raja Sanggar salah satu korban yang berhasil selamat dari letusan hebat tersebut, namun putrinya meninggal karena kelaparan.
Menurut dia, penderitaan hebat yang dialami masyarakatnya jauh lebih parah dari apa yang terjadi di Dompo.
"Putrinya sendiri meninggal karena kelaparan. Saya memberinya tiga coyang beras atas nama anda (Raffles)," tulis Raffles.
Detik-detik letusan paripurna Gunung Tambora 1815 silam, juga diceritakan oleh Raja Sanggar kepada sang Letnan.
Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas
"Sekitar jam 7 malam pada tanggal 10 April, tiga kolom api yang berbeda meledak di dekat puncak Gunung Tomboro (semuanya tampaknya berada di ambang kawah), dan setelah naik secara terpisah ke puncak yang sangat tinggi, mereka bersatu di udara," tulis Raffles seperti cerita Raja Sanggar kepada Philips.
Dalam waktu singkat, seluruh gunung Sang'ir (Sanggar) tampak seperti tubuh api cair dan meluas ke segala arah. Api dan tiang-tiang api terus berkobar dengan amukan yang tak kunjung reda.
Baca juga: Cuaca Ekstrem, Jalur Pendakian Gunung Tambora Ditutup
Sekitar pukul 8 malam, batu-batu sangat tebal berjatuhan di Sang'ir, beberapa di antaranya sebesar dua kepalan tangan, tetapi umumnya tidak lebih besar dari kenari.
Antara pukul 9 dan 10 malam, abu mulai berjatuhan segera setelah angin puyuh atau angin puting beliung yang dahsyat menyapu hampir setiap rumah di Desa Sang'ir.
Air laut naik hampir 12 kaki.
Menurut Letnan Owens Philips, dari seluruh desa yang berada di lingkar Tambora, hanya Desa Tempo dengan jumlah penduduk 40 orang yang tersisa.
Sementara di Pekate (Pekat) tidak ada satu pun rumah yang tersisa, sebanyak 26 orang yang ditemukan di Sumbawa adalah pengungsi letusan Tambora.
"Dari penyelidikan paling khusus yang dapat saya lakukan, pasti ada tidak kurang lebih 12.000 orang di Tomboro dan Pekate pada saat letusan di antaranya hanya lima atau enam yang bertahan hidup," kata Owen Philips dalam buku yang ditulis Stamford Raffles.