Salin Artikel

Laporan Owen Philips dan Bencana Kelaparan Pasca-letusan Tambora 1815

Tim Kompas.com akan melakukan Tapak Tilas 208 Tahun Letusan Tambora untuk menelusuri jejak letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Nantikan persembahan tulisan berseri kami tentang dampak dahsyatnya letusan besar Tambora pada 10 April 1815.

DOMPU, KOMPAS.com - Meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada April 1815, tercatat sebagai salah satu peristiwa yang paling mengerikan dalam sejarah.

Dentuman perdananya yang dimulai pada 5 April 1815 sore, terdengar hampir ke semua penjuru wilayah di Indonesia. Suara letusan itu sempat diduga berasal dari meriam serangan musuh.

Pasukan dari Detasemen Yogyakarta sampai dikerahkan untuk mengecek kondisi posko tetangga. Begitu pun perahu di pesisir pantai Pulau Jawa, diberangkatkan untuk melihat kapal-kapal yang mungkin dalam kesulitan.

Suara letusan itu terus berulang hingga keesokan harinya abu vulkanik berjatuhan di halaman dan atap rumah warga di Pulau Jawa.

Fenomena alam tersebut sekaligus menepis dugaan awal bahwa telah terjadi serangan oleh musuh.

Letusan tersebut kemudian disimpulkan berasal dari erupsi sebuah gunung api, namun perhatian banyak orang saat itu ke Gunung Merapi, Kelud dan Bromo di Pulau Jawa.

Beberapa hari setelah letusan itu terjadi dan berakhir pada 12 April 1815, Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles dalam The History Of Java 1817 mencatat laporan Letnan Owen Philips yang ditugaskan untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Sumbawa.

Dalam laporannya, Philips mengaku menyaksikan langsung mayat bergelimpangan di pinggir jalan, rumah-rumah hancur, dan warga yang selamat berpencar mencari makanan.

"Kesengsaraan yang luar biasa yang dialami para penduduk sangat mengejutkan untuk dilihat. Masih ada sisa-sisa beberapa mayat di pinggir jalan, dan tanda-tanda di mana banyak lainnya telah dimakamkan. Desa-desa hampir seluruhnya kosong dan rumah-rumah roboh, penduduk yang selamat telah berpencar untuk mencari makanan," tulis Raffles dalam buku The History of Java mengutip laporan Philips.

Selain menyaksikan dampak dari peristiwa yang sangat mengerikan itu, Philips dalam laporannya juga bertemu dan mendengar langsung kesaksian dari Raja Sang'ir (Sanggar) yang sudah menunggu kedatangannya di Dompo (Dompu).

Menurut dia, penderitaan hebat yang dialami masyarakatnya jauh lebih parah dari apa yang terjadi di Dompo.

"Putrinya sendiri meninggal karena kelaparan. Saya memberinya tiga coyang beras atas nama anda (Raffles)," tulis Raffles.

Detik-detik letusan paripurna Gunung Tambora 1815 silam, juga diceritakan oleh Raja Sanggar kepada sang Letnan.

"Sekitar jam 7 malam pada tanggal 10 April, tiga kolom api yang berbeda meledak di dekat puncak Gunung Tomboro (semuanya tampaknya berada di ambang kawah), dan setelah naik secara terpisah ke puncak yang sangat tinggi, mereka bersatu di udara," tulis Raffles seperti cerita Raja Sanggar kepada Philips.

Dalam waktu singkat, seluruh gunung Sang'ir (Sanggar) tampak seperti tubuh api cair dan meluas ke segala arah. Api dan tiang-tiang api terus berkobar dengan amukan yang tak kunjung reda.

Sekitar pukul 8 malam, batu-batu sangat tebal berjatuhan di Sang'ir, beberapa di antaranya sebesar dua kepalan tangan, tetapi umumnya tidak lebih besar dari kenari.

Antara pukul 9 dan 10 malam, abu mulai berjatuhan segera setelah angin puyuh atau angin puting beliung yang dahsyat menyapu hampir setiap rumah di Desa Sang'ir.

Air laut naik hampir 12 kaki.

Menurut Letnan Owens Philips, dari seluruh desa yang berada di lingkar Tambora, hanya Desa Tempo dengan jumlah penduduk 40 orang yang tersisa.

Sementara di Pekate (Pekat) tidak ada satu pun rumah yang tersisa, sebanyak 26 orang yang ditemukan di Sumbawa adalah pengungsi letusan Tambora.

"Dari penyelidikan paling khusus yang dapat saya lakukan, pasti ada tidak kurang lebih 12.000 orang di Tomboro dan Pekate pada saat letusan di antaranya hanya lima atau enam yang bertahan hidup," kata Owen Philips dalam buku yang ditulis Stamford Raffles.

Dua kerajaan kecil, yakni Kerajaan Pekat dan Tambora juga musnah bersama lebih kurang 10.000 penduduknya. Sementara dari jarak 62 kilometer di ujung timur Tambora, ribuan orang dilanda penyakit dan kelaparan.

Tiga bulan sesudah letusan itu, 37.000 orang meninggal dan babi hutan keluar untuk memangsa mayat yang tidak terkubur. Di Dompu, orang-orang memakan dedaunan, sedangkan di Bima orang membunuh dan memakan kuda-kuda terbaik.

Tidak kalah memperihatinkan, saat itu orang-orang rela menjual diri sebagai budak kepada pedagang dari Maluku dan Sulawesi hanya untuk bisa keluar dari tanah airnya yang sudah porak-poranda oleh letusan Tambora.

"Selama setahun sesudahnya yang melarikan diri berjumlah sebanyak yang meninggal. Populasi Sumbawa berkurang sampai setengahnya," tulis Tim Hanningan dalam buku berjudul Raffles dan Invansi Inggris ke Jawa yang diterjemahkan oleh Bima Sudiarto pada 2015.

Penggiat Sejarah Dompu, Nurhaedah mengemukakan, letusan dahsyat Gunung Tambora 1815 silam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Dompu yang ke-17, yakni Sultan Abdul Rasul (1808-1857).

Pada saat itu, pusat pemerintah Kesultanan Dompu berada di Bata, Kelurahan Kandai I. Namun, karena dahsyatnya letusan Tambora membuat Istana Bata tertutup abu vulkanik.

"Karena tertutup abu dan tidak dapat didiami lagi, Sultan Abdul Rasul II memindah lokasi istana ke lokasi baru, lokasinya di Masjid Baiturrahman saat ini. Oleh karena itu, Sultan Abdul Rasul II ketika wafat diberi gelar Aumerta Ma Waa Bata Bou," kata Nurhaedah.

Letusan Gunung Tambora merupakan malapetaka terbesar bagi Pulau Sumbawa. Karena selain membuat dua kerajaan, yakni Papekat dan Tambora sirna tertimbun lahar panas bersama raja serta seluruh rakyatnya, empat kerjaan lain yang tersisa, yakni Dompu, Sumbawa, Sanggar dan Bima hidup dalam kesengsaraan yang cukup panjang.

"Akibat letusan itu yang musnah hanya dua kerajaan, yaitu Pekat dan Tambora. Sementara empat kerajaan lain tidak musnah, kalau dibilang utuh tidak juga karena Kesultanan Dompu saja sampai pindah istananya. Tapi secara pemerintahan masih utuh semua empat kerajaan yang tersisa itu," ungkapnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/07/071500478/laporan-owen-philips-dan-bencana-kelaparan-pasca-letusan-tambora-1815

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke