Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Fenomena Banjir Bandang dan Penyebabnya

Kompas.com - 14/02/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini terjadi banjir bandang di Kota Manado, Sulawesi Utara, Kamis (26/1/2023) lalu, yang merupakan banjir bandang ketiga kalinya sejak pertama terjadi tahun 2014 dan menyusul tahun 2021.

Fenomena banjir bandang tidak hanya terjadi di Manado, tetapi juga terjadi di banyak daerah di Indonesia.

Barangkali hanya di Pulau Kalimantan saja yang topografinya relatif datar dan tidak berbukit/pegunungan, jarang terdengar terjadi banjir bandang. Kalau pun terjadi banjir masuk dalam katagori banjir biasa karena luapan/limpasan sungai yang melebihi kapasitas daya tampungnya.

Setiap kali memasuki musim hujan yang diwarnai dengan curah hujan tinggi dengan intesitas ekstrem, bencana hidrometeorologi pasti terjadi di mana-mana berupa tanah longsor, banjir, dan banjir bandang.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah frekuensi banjir bandang dan tanah longsor makin meningkat, masif dan terjadi di banyak daerah di Indonesia yang penduduknya sangat padat.

Di Harian Kompas (5/10/2021), saya menulis tentang bencana hidrometeorologi yang menekankan kewaspadaan banjir bandang dan tanah longsor.

Kenapa demikian? Dua jenis bencana hidrometeorologi tersebut datangnya secara tiba-tiba dan sulit diprediksi oleh manusia. Jenis bencana ini biasanya banyak membawa korban jiwa dan harta benda.

Lain halnya dengan bencana banjir biasanya datangnya dapat dipantau dan diprediksi sebelumnya.

Data yang dihimpun dari seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) selama tahun 2021 telah terjadi terjadi 5.402 kejadian bencana, dan 99,5 persen kejadian sepanjang tahun 2021 merupakan bencana hidrometeorologi.

Jumlah kejadian tersebut didominasi antara lain bencana banjir yang terjadi 1.794 kejadian, 1.577 cuaca ekstrem, 1.321 tanah longsor.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, terdapat 2.654 bencana alam yang telah melanda Indonesia sejak 1 Januari-4 Oktober 2022.

Cuaca ekstrem menjadi bencana alam terbanyak terjadi di tanah air berikutnya, yakni sebanyak 852 kejadian pada periode yang sama. Kemudian, diikuti 469 kejadian tanah longsor dan 239 kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Penyebab banjir bandang

Banjir bandang terjadi karena daerah hulunya telah terjadi perubahan bentang alam (landscape) yang akut berupa alih fungsi lahan hutan/tutupan hutan (forest coverage) secara besar-besaran dan masif.

Dampaknya, kemampuan daerah hulu sebagai daerah tangkapan air hujan (catchment area) dan penyimpan air hujan, secara ekologis tidak berfungsi lagi (kemampuan menyimpan air dapat disebut mendekati nol persen).

Dalam ilmu hidrologi, kondisi ini disebut sub surface run off 0 persen, surface run off 100 persen.

Dengan kondisi seperti ini, apabila terjadi hujan di daerah hulu, maka air hujan akan meluncur langsung kepermukaan tanah dan masuk kedalam sungai utama dengan kecepatan yang tinggi menuju ke daerah hilir.

Bisa dibayangkan apabila di daerah hulu terjadi hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi, maka kecepatan air yang meluncur kesungai dan hilir akan meningkat pula.

Ironisnya, apabila terjadi hujan di daerah hulu dengan intensitas curah hujan yang tinggi, sementara di daerah hilir tidak terjadi hujan sama sekali, maka air bah dari banjir bandang ini akan menjadi malapetaka bagi daerah hilir.

Kawasan hutan lindung bahkan cagar alam, merupakan kawasan yang sangat efektif menyimpan air.

Sebuah penelitian mengatakan, hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah.

Sedangkan, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah. Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya (canopy), makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah, bahkan hampir 100 persen air hujan mampu terserap kedalam tanah.

Penyebab tanah longsor

Tanah longsor dapat terjadi apabila penguat struktur maupun tekstur tanah menurun dan berkurang kemampuannya akibat faktor curah hujan dan atau adanya perubahan signifikan tutupan vegetasi yang berada di atasnya.

Kejadian longsor selalu disertai dengan keretakan tanah atau tebing. Perubahan tanah tersebut biasanya ditandai dengan pergeseran pohon.

Berdasarkan data dari BNPB, sejak 1 Januari – 25 September 2021 terjadi 362 tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia.

Longsor tercatat sebagai bencana dengan intensitas tertinggi ketiga setelah banjir (814 kejadian) dan puting beliung (500 kejadian).

Tingginya kejadian longsor yang mengakibatkan korban jiwa membuat setiap daerah rawan perlu menyiapkan sistem peringatan dini.

Namun, hal ini kerap kendala. Sistem peringatan dini longsor yang ada saat ini, masih menggunakan teknologi radar, penginderaan jauh dan geoteknik sensor yang cenderung mahal.

Data yang dihimpun dari teknologi tersebut juga cukup rumit saat diolah dan sulit dibuat sistem waktu terkini (real time) secara daring.

Pencegahan dan pemulihan

Untuk mengatasi bencana banjir bandang dan tanah longsor, tidak ada kata lain selain dilakukan kegiatan pencegahan dan pemulihan.

Untuk mencegah banjir bandang harus tetap mempertahankan kawasan hutan dan tutupan hutan yang masih ada dan kondisi baik dengan mencegah adanya alih fungsi lahan hutan dan tutupan hutan di daerah hulu.

Sementara untuk daerah hulu yang telah rusak kawasan hutan dan tutupan hutannya harus segera memulihkannya kembali dengan menanam vegetasi kayu-kayuan dengan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaun lebar yang mampu untuk menyerapkan air hujan lebih banyak kedalam tanah.

Untuk mencegah tanah longsor, terutama untuk lahan-lahan di luar kawasan hutan, peningkatan dan sosialisasi kesadaran masyarakat perlu digalakkan agar daerah-daerah yang rawan longsor di tebing-tebing sungai, tebing lahan yang kemiringannya di atas 40 persen yang masih ada vegetasinya (kayu maupun semak belukar dan rumput-rumputan) tidak perlu diganggu gugat keberadaannya.

Sementara itu, untuk daerah rawan longsor yang sudah rusak, agar dipulihkan kembali lingkungannya dengan menanami jenis vegetasi kayu-kayuan yang sesuai dengan kondisi lahannya.

Bagi tebing-tebing sungai (kiri-kanan sungai) dapat ditanami dengan dengan jenis bambu-bambuan yang banyak ditemukan di Indonesia.

Sementara untuk daerah yang rawan longsor di luar dari tebing-tebing sungai tersebut, dapat ditanami vegetasi kayu-kayuan dengan jenis yang cepat tumbuh, perakaran dalam dan berdaun lebar yang mampu memperkuat struktur dan tekstur tanah yang akan dipulihkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com