Koridor Tanjung Binerean ini mendukung keberadaan jenis burung terancam punah dan dilindungi Pemerintah Indonesia.
Sebagai satu-satunya tempat bertelur burung maleo di pesisir selatan dan tenggara Provinsi Sulawesi Utara, Tanjung Binerean adalah tempat istimewa bagi pengelolaan keanekaagaman hayati di Indonesia. Pengelolaan oleh multipihak ini menjadi petemuan semua semangat pelestarian satwa liar, melalui pintu masuk penyelamatan maleo dan habitatnya, semua satwa penting ikut terselamatkan, mulai dari wilayah perairan hingga ke daratan dalam satu koridor yang harmoni.
Pengelolaan multipihak ini juga dilakukan dengan membangun kesadaran para warga desa untuk terlibat dalam upaya konservasi satwa liar dan habitatnya.
Maleo senkawor ini merupakan satwa endemik yang tersebar di beberapa lokasi di pulau sulawesi dan pulau satelitnya.
“Maleo senkawor berukuran sedang bulu berwarna hitam di bagian atas, putih di bagian bawah,” ujar Alfons Patandung.
Baca juga: Populasi Satwa Liar Dunia Menurun Drastis, Apa Sebabnya?
Ia menjelaskan burung yang sering berjalan dan berlari ini memiliki tonjolan besar seperti sanggul di kepalanya, tonjolan keras ini mulai nampak saat beranjak dewasa, kakinya besar, berselaput, dan memiliki cakar untuk menggaruk tanah.
Maleo hidup secara monogami dan setia pada pasangannya. Pasangan maleo tidak mengerami telur, dan membiarkan telur menetas sendiri dengan bantuan panas matahari atau panas bumi.
”Butuh waktu hingga 48 jam bagi anakan maleo yang baru menetas untuk berjuang menerobos ke permukaan tanah,” ucap Alfons Patandung.
Maleo yang menetas ini posisinya masih di dalam tanah, ia harus berjuang keras menerobos tanah di atasnya, bahkan terdapat pasir, batu, dan akar pohon. Perjuangan ini benar-benar keras hingga ia muncul ke permukaan tanah. Maleo mungil yang baru keluar dari dalam tanah ini langsung bisa lari dan terbang untuk menghindari predator.
Berat dewasa maleo adalah 1,6 kg dengan panjang 55-60 cm, memiliki pola makan omnivora dengan mengonsumsi buah, biji, dan serangga hutan. Maleo betina bertelur 8-12 butir pertahun, telur ini dipendam dalam lubang tanah.
“Habitatnya di dataran rendah, hutan pegunungan, semak belukar dan pantai, salah satu habitat pentingnya ada di Tanjung Binerean,” ungkap Alfons Patandung.
Baca juga: Mengenal Maleo, Burung Khas Sulawesi yang Populasinya Terancam
Status keterancaman maleo adalah kritis, critical endangered. Pemerintah melindungi melalui PP nomor 7 tahun 1999 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018.
Ancaman pada individu dewasa terjadi oleh kerusakan hutan, anak baru menetas terancam oleh predator alaminya, biawak, ular, elang, dan lainnya. Telur yang berada di dalam tanah juga terancam oleh manusia selain predator.
Tempat bertelur maleo di Tanjung Binerean Bolaang Mongondow Selatan dikelola sejak 2008 dengan luas peneluran 0,35 ha, jumlah anak yang sudah dilepasliarkan sebanyak 639 ekor.
“Kami di pemerintahan daerah menerbitkan Perda Kawasan Ekisistem Esensial (KEE) koridor Tanjung Binerean,” kata Sri Maya Lamusu, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbangsa) Bolaang Mongondow Selatan.
Dalam catatan Wildlife Conservation Society pada 1994, Marc Argeloo, seorang naturalis Belanda dan peneliti maleo di era 1990-an dalam jurnalnya (1994) mengusulkan tempat bertelur maleo di Tanjung Binerean ini untuk dilindungi sebagai kawasan cagar alam.
Tahun 2014 lahir konsep awal untuk melindungi tempat bertelur maleo Tanjung Binerean melalui skema kawasan restorasi ekosistem namun upaya ini tidak berlanjut.
Pada 2018 Bupati Bolaang Mongondow Selatan Iskandar Kamaru menerbitkan Peraturan nomor 78 tahun 2018 tentang penataan kawasan pengungsian satwa khususnya bagian koridor yang terletak di kawasan areal penggunaan lain.
Baca juga: Tak Hanya di Tol Permai, Pelintasan Satwa Liar Juga Ada di Tol Sibanceh
Pada 2019 Iskandar Kamaru meningkatkan perlindungan koridor ini dengan menerbitkan keputusan nomor 289 yang membentuk forum kolaborasi pengelolaan koridor hidupan liar Tanjung Binerean sebagai bentuk dukungan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.
Pada 2021, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2, yang mengatur penataan kawasan pengungsian satwa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.