LEBAK, KOMPAS.com - Lagu gundul-gundul pacul mengalun lembut di Museum Multatuli Rangkasbitung. Alunan tersebut bersumber dari lima alat musik petik tradisional yang berbeda-beda.
Lima alat musik itu yakni kacapi buhun dari Baduy Banten, sasando dari Nusa Tenggara Timur, sape dari Kalimantan Barat, kulcapi dari Sumatera Utara, dan siter dari Yogyakarta.
Kendati berbeda, suara yang dihasilkan seolah mampu membius puluhan penonton yang hadir. Mereka terdiam saat musik dimainkan dan tepuk tangan riuh setelah pertunjukan selesai.
Baca juga: Alat Musik Tradisional Kecapi: Asal, Cara Memainkan, Fungsi, dan Bahan Pembuatan
"Gundul-gundul Pacul" adalah lagu yang dimainkan sebagai pamungkas. Sebelumnya sejumlah lagu mulai dari tradisional, pop, dangdut, hingga barat juga dipertunjukkan.
Pertunjukan musik ini adalah satu di antara rangkaian Festival Batara Endah Sora Instrumen dari Sorga yang digelar di Museum Multatuli Rangkasbitung, Sabtu (22/10/2022), oleh Komunitas Aing.
“Ini merupakan rangkaian dari pelatihan yang digelar selama dua bulan, peserta belajar kacapi buhun dan diakhir latihan saya inisiatif undang lima pemusik petik tradisional dari seluruh Indonesia untuk berkolaborasi dalam satu panggung,” kata Niduparas Erlang, ketua Komunitas Aing kepada Wartawan, Sabtu.
Kolaborasi lima alat musik petik tradisional ini bisa dibilang suatu hal yang langka. Bahkan, menurut Erlang, pertama kali dilakukan di Indonesia.
Baca juga: Konser Nada Nusantara di Borobudur Hadirkan Alat Musik Tradisi yang Nyaris Punah
Dalam tajuknya, kolaborasi ini disebut memperdengarkan alunan instrumen dari Surga. Sebab, alat musik yang digunakan, terutama kacapi buhun penghasil bunyi-bunyian dari Surga.
“Kacapi buhun dalam naskah kuno disebut sebagai instrumen musik atau bunyi-bunyian yang ada di Surga, bukan hanya di dunia. Bahkan dalam anggapan masyarakat Baduy tradisi Kacapi ini mereka persembahkan juga untuk Dewata atau Tuhan,” kata dia.
Selain kacapi buhun, alat musik petik tradisional lainnya yang dikolaborasikan erat kaitannya dengan kehidupan dan kematian.
Misalnya alat musik sape dari Kalimantan yang biasanya dipakai oleh Suku Dayak untuk mengiringi tradisi penting mulai dari pernikahan hingga kematian.
Pemetik sape yang hadir dalam festival tersebut, Deliana Winki mengatakan, jika bunyi-bunyian yang dihasilkan dari petikan sape memiliki alunan magis yang bisa mengubah suasana pendengar.
“Sape dipetik menggunakan feeling, ketika memainkan Sapu ada seusatu yang membuat kita seperti magis, orang yang mendengarkan serasa ada di alam,” kata Deliana.
Deliana mengungkapkan, sape sebelumnya hanya bisa dimainkan oleh Suku Dayak. Tapi belakangan sudah banyak anak muda yang tertarik mempelajarinya, termasuk dirinya.
Dia sendiri sudah menjadi pemetik sape tiga tahun belakangan ini. Dengan musik sape, ia bisa keliling Indonesia memainkan sekaligus memperkenalkan sape ke khalayak.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.