Oleh karena itu, perlengkapan jemparingan tentunya bersifat pribadi dan sulit untuk dipinjamkan.
Baca juga: Jemparingan, Olahraga Memanah Tradisional Digemari di Berbagai Daerah
Seseorang yang memegang busur dan anak panah akan duduk menyamping dengan busur ditarik ke arah kepala sebelum ditembakkan ke arah wong-wongan.
Pemanah harus berusaha mengenai sasaran dengan tepat.
Semakin banyak anak panah yang mengenai bandulan, semakin banyak nilai yang didapatkan. Terlebih bila mengenai molo yang berwarna merah.
Namun, jika sampai mengenai bola kecil di bawah bandulan, pemanah akan mendapatkan pengurangan nilai.
Seiring perkembangan zaman, jemparingan pun mulai mengalami beberapa perubahan. Kini terdapat berbagai cara memanah serta bentuk sasaran yang dibidik.
Akan tetapi, semua tetap berpijak pada filosofi jemparingan sebagai sarana untuk melatih konsentrasi.
Beberapa orang juga tidak lagi membidik dengan posisi gandewa di depan perut, tetapi dalam posisi sedikit miring sehingga pemanah dapat membidik dengan mata.
Baca juga: Sejarah Jemparingan, Olahraga Panahan yang Ada Sejak Sri Sultan HB I
Jemparingan sempat terancam hampir punah karena peminatnya yang semakin sedikit, terutama setelah meninggalnya Paku Alam VIII, salah satu pendukung jemparingan.
Namun, belakangan ini seni memanah tradisional ini justru digandrungi oleh generasi muda, terutama di lingkungan Yogyakarta.
Di lingkungan Keraton Yogyakarta, permainan jemparingan rutin dilaksanakan setiap minggu.
Para pemanah biasanya mengenakan busana khas Jawa seperti kebaya dan batik untuk wanita. Sementara kaum pria mengenakan surjan, kain batik dan blangkon.
Pemanah akan mulai merentang busur untuk menempa hati dengan memusatkan pikiran dan konsentrasi demi sebuah tujuan yang ingin dicapai.
Sumber : Indonesia.go.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.