Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Pluralisme di Sekolah Negeri di Jogjakarta

Kompas.com - 04/08/2022, 11:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21.

Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu.

Samuel Huntington sejak awal juga memprediksikan dan telah terbukti kebenarannya dengan munculnya perbenturan antarmasyarakat yang banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilization” di banyak tempat, termasuk di Jogjakarta.

Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.

Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh keberpihakan terhadap agama dan kebudayaan.

Contoh sederhana sebagai bukti dari sinyalemen masyarakat Yogyakarta yang mulai kehilangan toleransi adalah perilaku berlalu-lintas masyarakat Yogyakarta yang semakin hari semakin jauh dari sifat Jogja sebagai kota yang berbudaya.

Selain itu, makin maraknya kost warga yang hanya menerima mahasiswa indekost yang seagamanya. Bahkan makin masifnya segregasi sosial berbasis etnik dan agama dalam banyak peristiwa.

Dunia pendidikan kita suram, bahkan dalam hal penghargaan terhadap perbedaan, pendidikan mengalami masa darurat pendidikan.

BBC Indonesia.com tanggal 1 November 2017 memberitakan bahwa 1 dari 4 pelajar siap berjihad.

Penelitian sejenis makin banyak dan menampilkan data yang sungguh mengejutkan. Misalnya ASN menolak Pancasila, mahasiswa yang siap menegakkan khilafah dan sebagainya membuktikan makin maraknya antipluralisme di negara plural ini.

Pascatumbangnya rezim orde baru nampak guru dan sekolah seringkali dijadikan agen gerakan pembentukan generasi agamis yang antipluralisme yang terus menerus menguatkan identitas keagamaan.

Lembaga pendidikan tidak lagi sebagai arena pemerdekaan tetapi menjadi instrument gerakan ideologis. Bersamaan dengan itu, ide pemikiran kritis dan pluralis tidak popular dan makin ditinggalkan.

Pendidikan damai di Jogja

Menyembuhkan karut marut antipluralisme tidaklah mudah, namun bisa dilakukan. Ibarat membersihkan aliran sungai yang kotor kita mulai pembersihan dari sumbernya.

Pendidikan bisa menjadi jawaban untuk menyemai nilai-nilai toleransi dan pluralisme.

Jogjakarta sebenarnya sejak lama memiliki Perda No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan pendidikan Berbasis Budaya.

Peraturan ini dibuat antara lain didasari pertimbangan bahwa pemerintah Provinsi DIY telah menetapkan visi pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya dan tujuan pariwisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.

Konsep pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia.

Nilai-nilai luhur budaya tersebut meliputi 18 macam nilai, yakni: kejujuran, kerendahan hati, ketertiban/kedisiplinan, kesusilaan, kesopanan/kesantunan, kesabaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kerja keras/ keuletan/ketekunan, ketelitian, kepemimpinan, dan/atau ketangguhan.

Perda tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya model sekolah sejahtera, sekolah berbasis budaya, sekolah inspiratif, serta gerakan guru yang mendidik secara menyenangkan. Sehingga sekolah menjadi menarik bagi anak-anak dan bukan beban.

Namun sejauh ini penulis belum tahu sejauhmana dampak penerapan Perda dan bagaimana nilai-nilai budaya itu terinternalisasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com