Perempuan berhijab ini menuturkan saat baru masuk kuliah bertepatan dengan pandemi dan harus menjalani kuliah jarak jauh (online).
Uang kuliah memang beasiswa, kata Juliana, tetapi peralatan kuliah seperti ponsel pintar wajib ada.
"Sempat enggak bisa kuliah karena tidak punya handphone. Orangtua kuras tabungan, untuk beli," kata Juliana.
Setelah memiliki ponsel juga kebingungan, karena pertama kali menggunakan ponsel dan kuliah dengan sistem online.
Dengan pendampingan dari lembaga pemberdayaan masyarakat adat, Pundi Sumatera, Juliana dengan cepat menguasai teknologi.
"Tantangan kuliah saat pandemi, ya susah sinyal dan mati lampu," kata perempuan yang memiliki ibu bernama Benang ini.
Baca juga: Viral, Berita Orang Rimba Ditolak Bank, Kepala TNBD: Itu Peristiwa 22 Tahun Lalu
Pertama kali kuliah di Jambi, Juliana selalu dilanda rindu. Bahkan neneknya, pernah menangis meminta Juliana pulang, untuk melepas rindu.
"Kalau rindu pasti. Tapi saya kuat-kuatkan. Kalau sudah tak kuat, saya telepon," kata Juliana dengan nada sendu.
Untuk pergaulan di kampus, awalnya Juliana mengaku pendiam dan sangat jarang membuka diri.
Pesan dari Ayah, sambung dia harus pandai menjaga diri dan berhati-hati dengan orang asing.
Setelah 2 tahun kuliah Juliana sudah mengenal seluruh teman kampusnya. Bahkan dia punya 7 orang sahabat dekat.
Tidak hanya sahabat, dia juga memiliki media sosial seperti facebook dan instagram.
CEO Perkumpulan Pundi Sumatera, Dewi Yunita Widiarti menuturkan lembaga yang dia pimpin fokus pada layanan pendidikan, melalui kegiatan sekolah alam dan fasilitasi pendidikan ke sekolah formal.
Kemudian program pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan Pundi Sumatera pada komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba sejak 2012.
"Tidak mudah membuat perempuan Orang Rimba kuliah, karena rata-rata usia 18 tahun sudah menikah. Lebih dari itu dianggap perawan tua," kata Dewi.
Baru-baru ini ada 3 orang yang putus sekolah karena harus menikah. Bahkan perempuan rimba ini, menangis-nangis meminta Pundi Sumatera "menggagalkan" pernikahan mereka karena ingin sekolah.
"Kami dengan pemerintah daerah, bersama-sama mau membatalkan pernikahan perempuan rimba. Tapi gagal karena berlaku hukum adat dan denda adat," kata Dewi.